Senin 25 Nov 2013 16:01 WIB

LIPI Usulkan Pemilu Serentak

Rep: Ira Sasmita/ Red: Mansyur Faqih
Siswa SD Menteng 01 melakukan simulasi pemungutan suara pada pemilu di kantor KPU, Jakarta Pusat, Senin (11/11). (Republika/Yasin Habibi)
Siswa SD Menteng 01 melakukan simulasi pemungutan suara pada pemilu di kantor KPU, Jakarta Pusat, Senin (11/11). (Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan perlu segera dilakukan penataan kembali skema pemilu simultan dan serentak. Khususnya, perlunya pemilu presiden dan pemilu legislatif diusulkan digelar serentak.

Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Syamsuddin Haris mengatakan, penataan skema pemilu bisa dilakukan melalui dua bentuk. Pertama, pemilu nasional, terdiri dari pilpres dan DPR yang dilakukan 2,5 tahun lebih awal dibanding pemilu lokal. Kedua, pemilu legislatif dilakukan serentak dengan pemilihan presiden.

"Kalau pilpres serentak dengan pileg, maka ambang batas pencalonan presiden dengan sendirinya terhapus. Karena ambang batas itu tidak relevan, tidak masuk akal, dan merupakan anomali dalam praktik presidensial," kata Syamsuddin di Jakarta, Senin (25/11).

Menurut Syamsuddin, persyaratan ambang batas pencalonan presiden hanya menjadi penjara bagi parpol. Mekanisme itu juga mereflesikan praktik presidensial yang bernuansa parlementer.

Selain dilakukan serentak, pemilihan presiden juga diusulkan dilembagakan melalui mekanisme pemilihan pendahuluan. Misalnya pelaksanaan konvensi bagi pasangan capres yang diusung parpol atau gabungan parpol.

"Mekanisme pendahuluan seperti konvensi itu perlu diatur dalam UU Pilpres. Dengan begitu setiap partai melakukan seleksai capres dengan sungguh-sungguh," ujarnya.

Dalam skema pemilu, menurutnya, terjadi inkonsistensi. Sejak pemilu 2004, penyelenggaraan pemilu legislatif mendahului pemilu presiden. Padahal konstitusi berorientasi pelembagaan presidensial.

"Akibatnya parpol bergantung pada hasil pileg dalam pencalonan presiden dan wakil. Padahal lembaga parlemen dan institusi kepresidenan adalah dua institusi yang terpisah dan tidak tergantung satu sama lain," jelas Syamsuddin.

Ketergantungan terhadap hasil pileg itu, kata dia, semakin dilembagakan dengan ketentuan 20 persen perolehan kursi di parlemen atau 25 persen suara nasional. Partai yang bisa memenuhinya, baru bisa mengajukan calon presiden.

Akibatnya, tidak ada kesempatan publik memilih kandidat berdasarkan kapabilitas capres. Tidak ada upaya parpol untuk melembagakan mekanisme rekrutmen capres secara terbuka, partisipatif, demokratis, dan akuntabel. Konsekuensinya, proses seleksi capres menyebabkan aspek kompetensi dan kapabilitas kandidat capres tidak terlihat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement