Jumat 22 Nov 2013 14:26 WIB

Pilih Transmigrasi Malah Jadi Buruh Sawit

Lanskap lokasi transmigrasi yang dikelilingi kebun sawit di Desa Sebunga
Foto: Priyantono Oemar/Republika
Lanskap lokasi transmigrasi yang dikelilingi kebun sawit di Desa Sebunga

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Priyantono Oemar

Slamet Riyanto memilih meninggalkan pekerjaannya menjadi buruh sawit di Kabupaten Kuburaya, Kalimantan Barat. Di kampung halamannya, Boyolali, Jawa Tengah, ia mendaftarkan diri menjadi transmigran.

Ada lokasi transmigrasi yang disiapkan di sebelah kebun sawit tempat ia bekerja. Ada lahan pekarangan setengah hektare. Itulah pendorong ia memilih ikut transmigrasi. ‘’Saya sudah melihatnya sendiri, dan katanya ada lagi lahan usaha sawit yang semuanya mencapai dua hektare,’’ ujar Slamet.

Tapi, pilihannya ke lokasi transmigrasi Kuburaya ditolak Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Boyolali. Ia diarahkan ke lokasi di Sambas, kabupaten tetangga Kuburaya. Karena mendapat penjelasan akan mendapat lahan usaha sawit juga, ia menyetujuinya, setelah berbagai upaya untuk tetap memilih lokasi Kuburaya tak berhasil.

‘’Saya mau ditempatkan di sini karena akan diberi lahan yang sawitnya sudah berumur 2,5 tahun,’’ ujar Slamet.

Jika kebun sawitnya sudah berusia 2,5 tahun, kata Slamet, berarti satu setengah tahun lagi panen. ‘’Kemudian bisa diserahkan kepada kami, tapi nyatanya, sampai sekarang belum lihat kebun sawit yang dijanjikan itu,’’ tutur Slamet.

Sudah setahun ini, Slamet menempati lokasi transmigrasi di Dusun Beruang, Desa Sebunga, Kecamatan Sajingan Besar, Kabuoaten Sambas. Ada 60 transmigran dari Pulau Jawa, termasuk dirinya.

Lokasi ini diperuntukkan bagi 200 keluarga transmigran, 100 rumah untuk transmigran asal dan 100 rumah lagi untuk transmigran lokal. Transmigran asal dikirim dari Pulau Jawa, transmigran lokal berasal dari Kabupaten Sambas.

Tapi, 40 transmigran asal dari Banten dan Yogyakarta tak berangkat, sehingga hanya 60 transmigrasn asal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah yang mengisi jatah rumah transmigran asal. ‘’Sebanyak 40 rumah yang kosong kemudian diisi oleh anggota TNI yang sudah purna tugas,’’ ujar Camat Sajingan Besar, Suhut Firmansyah, Kamis (21/11).

Slamet sempat kabur tiga bulan dari lokasi transmigrasi. Ia mengais rezeki ke Jakarta sebelum akhirnya kembali lagi. ‘’Di sini kami terpaksa menjadi buruh setengah borongan di kebun sawit untuk mendapat penghasilan,’’ ujar Slamet.

Upahnya Rp 25 ribu – Rp 40 ribu per hari. Ini tentu jumlah upah yang sangat rendah. ‘’Anak saya yang sekolah SMP biaya kosnya Rp 45 ribu sebulan,’’ ujar Sarwi, transmigran yang menjadi kuli bangunan ketika masih tinggal di Grobogan, Jawa Tengah.

Dari delapan anak yang sudah duduk di bangku SMP, dua anak telah mengundurkan diri. ‘’Orang tuanya tak memiliki biaya untuk membayar uang kos,’’ ujar Sarwi.

Untuk yang duduk di bangku SD, mereka bisa belajar di lokasi transmigrasi, karena sudah disediakan bangunan sekolah. Siswanya dari kelas 1 sampai kelas 5 ada 26 orang, dengan pengajar empat guru honorer.

‘’Paling banyak kelas satu, ada sebelas orang,’’ ujar Siti Hajar, siswi kelas 4. Di kelas empat, Siti hanya bertiga.

Menjadi buruh sawit terpaksa mereka lakukan, karena mereka belum menerima lahan usaha yang dijanjikan. Sebelum berangkat, mereka mendapat penjelasan akan mendapat lahan pekarangan seluas 0,25 hektare dan lahan usaha seluas 0,75 hektare di tahun pertama.

Kemudian juga akan mendapatkan lahan usaha lagi seluas satu hektare. ‘’Lahan yang dijanjikan sebagai lahan plasma sawit,’’ ujar Sarwi.

Tapi, mereka hanya bisa menunggu. ‘’Bahkan, lahan pekarangan pun kami belum tahu batas-batasnya, dan tak bisa ditanami,’’ ujar Slamet, menunjuk pekarangan rumahnya yang berwarna putih. Tanah kapur.

Mereka mencoba menerima kenyataan itu, bersedia bekerja di kebun sawit daripada tak ada penghasilan sama sekali. Di antara mereka, kata Sarwi, ada yang berangkat ke kebun pukul 03.30 WIB, ada juga yang berangkat pukul 06.00 WIB.

‘’Sebanyak 75 persen bekerja di kebun sawit, lainnya ada yang jualan, sopir, kuli bangunan,’’ ujar Bambang Risyanto, transmigran asal Sumedang yang dipilih menjadi ketua RW di lokasi transmigrasi.

Bambang tak mau menjadi buruh di kebun sawit. Ia memilih menjadi penjahit keliling. ‘’Tukang permak pakaian,’’ ujar dia.

Mesin jahit yang ia bawa dari Sumedang ia copot agar bisa dipasang di sepeda motor. Dengan sepeda motornya itu ia keluar masuk kampung dan perumahan buruh sawit, menyusuri jalan setapak dan jalan tanah yang tak memadai.

Jika tidak keliling mencari pelanggan jahitan, ia mengolah lahan di belakang rumah bersama istrinya. Mencangkul dan membakar sampah. ‘’Saya ke sini niatnya ingin jadi petani, bukan menjadi buruh,’’ ujar Bambang mengenai pilihan pekerjaannya itu.

Tapi, bibit tanaman yang ia dapat dari pemerintah malah tak ada yang tumbuh. Beruntung, ia membawa juga bibit dari Sumedang. Salah satunya bibit labu. ‘’Ini hasil panen kedua, buahnya berubah bentuk menjadi lonjong dan sangat besar,’’ ujar Bambang mengambil labu seberat sekitar 10 kg.

Sewaktu masih di Sumedang, Bambang berjualan bubur keliling. Penghasilannya Rp 3 juta per bulan. Keinginannya menjadi petani tak bisa terwujud di Sumedang, karena ia tak punya lahan.

Maka, ketika mendapat informasi ada pendaftaran transmigrasi, ia mengajukan diri. ‘’Negara lain ingin menggarap pertanian di kita, mengapa kita sendiri tak mau?’’ kata Bambang mengenai alasannya ingin menjadi petani.

Menurut Suhut, pemda sedang berkoordinasi dengan perusahaan sawit. ‘’Yang saya tahu, sedang disiapkan 1.400 hektare lahan plasma sawit, 400 hektare di antaranya untuk transmigran asal, dan 1.000 hektare untuk transmigran lokal,’’ ungkap Suhut.

Tapi, Suhut mengakui belum tahu lahan itu teralisasi. Ia berharap, warga transmigran mau bersabar. Agar mereka bisa memiliki penghasilan setelah jatah hidup habis Desember nanti, Suhut berharap mereka tetap bersedia bekerja di kebun sawit untuk sementara. ‘’Kita juga sedang mengupayakan agar lahan-lahan kosong milik warga lokal dapat disewakan ke mereka untuk ditanami,’’ ujar Suhut.

Merasa dibuang

‘’Di sini kami seperti orang buangan,’’ ujar Bambang. Tetapi, kesabaran membuat mereka kuat untuk menjalani masa-masa sulit selama setahun ini. Mereka sabar menunggu pembagian lahan usaha yang telah dijanjikan.

Dua bulan lalu, banyak rumah yang atap asbesnya terbang, dinding gipsumnya lepas. Angin telah memorakporandakan rumah mereka. Dari 11 rumah yang rusak, empat di antaranya rusak parah.

Bambang memanfaatkan dinding gipsum ruang dalam untuk mengganti dinding gipsum luar yang rusak. Ruang dalam lantas ia batasi dengan gorden, untuk menggantikan gipsum yang ia copot itu.

Bencana itu menambah deret penderitaan mereka setahun terakhir. Sebelumnya, mereka didera kesulitan air, sehingga memanfaatkan air limpasan dari kebun sawit. Air yang bercampur bahan kimia dari pupuk sawit. ‘’Gatal-gatal sehabis mandi pakai air itu,’’ ujar Bambang.

Lokasi transmigrasi ini memang dikelilingi kebun sawit. Lewat jalan setapak, membutuhkan waktu setengah jam ditempuh dengan sepeda motor dari Border Aruk. Jika melalui jalan besar yang rusak parah butuh waktu satu jam menggunakan mobil gardan ganda.

Tanahnya berbukit, dengan jalan seadanya. Rumah-rumah yang disediakan untuk mereka pun seadanya, dibangun di atas lahan yang tak rata. Maka, rumah-rumahnya ditopang tiang-tiang, sehingga menjadi rumah panggung berlantai kayu. Rumah-rumah itu tersebar di sana-sini memenuhi perbukitan. Belum ada tanaman tinggi yang dapat menahan laju angin.

Sudah setahun ini mereka hidup tanpa air bersih. Jika menginginkan air sungai, kata Bambang, mereka harus jalan jauh hanya untuk satu ember. Suhut mengaku tak tahu penyebab terhentinya aliran air ke lokasi transmigran itu. ‘’Kami usul agar kita dilibatkan melakukan pengawasan, tapi tidak diizinkan, sekarang, begitu ada masalah, warga tahunya mengadunya ke kami,’’ ujar Suhut.

Beberapa rumah yang ditempati transmigran lokal telah ditinggalkan penghuninya. ‘’Mereka kembali ke kampungnya, karena di sini tak bisa apa-apa,’’ ujar Bambang mengenai pilihan yang diambil transmigran lokal itu.

Mereka mulai mengisi lokasi transmigrasi di Sebunga itu sejak 13 Desember 2012. Selama setahun, mereka menerima jatah hidup berupa minyak tanah, minyak goreng, beras, gula pasir, sabun, garam, kecap, ikan asin.

Untuk kebutuhan air, pada mulanya mereka mendapat pasokan air dari gunung yang dialirkan ke penampungan induk di lokasi transmigrasi. Tapi fasilitas ini hanya bisa mereka nikmati selama 15 hari pertama. Sebulan berikutnya tak ada air sama sekali. Setelah ada perbaikan, mereka bisa menikmati lagi air selama seminggu. ‘’Setelah itu tak pernah ada lagi sampai sekarang, sehingga kami memanfaatkan air limpasan dari kebun sawit jika tak ada air hujan,’’ ujar Bambang.

Saat malam tiba, mereka segera disergap sepi dan gelap. Hanya cahaya lampu minyak yang keluar dari jendela kaca rumah mereka. ‘’Kami sudah mengajukan ke PLN agar listrik yang dibeli dari Malaysia untuk Sajingan Besar juga sampai di lokasi transmigran,’’ ujar Camat Sajingan Besar Suhut Firmansyah.

Menurut Suhut, kebutuhan listrik di Kecamatan Sajingan Besar berasal dari listrik Malaysia. Tinggal Desa Sungai Bening dan lokasi transmigrasi Sebunga yang belum teraliri listrik. ‘’Untuk Desa Sungai Bening, tiang-tiangnya sudah ada, tapi akses jalan masih buruk, sehingga belum dipasang,’’ ujar Suhut.

Lokasi transmigrasi ini masuk wilayah Desa Sebunga. Suhut mengatakan, listrik akan dialirkan melalui Dusun Beruang, yang sudah terpasang listriknya. Suhut berharap PLN bisa segera mengalirkan listrik ke lokasi transmigrasi yang dikeliling kebun sawit itu.

Desember ini, jatah hidup mereka berakhir, sementara mereka belum bisa mengolah lahan yang dijanjikan. Menurut Suhut, lokasi ini bukan lokasi awal yang direncanakan pada 2008. Lokasi yang ditetapkan Pemda Sambas berbeda dengan lokasi yang disediakan oleh masyarakat Sajingan Besar.

‘’Lokasi yang ditunjuk masyarakat sudah keduluan dimiliki perkebunan sawit,’’ ujar Suhut. Lokasi yang ada sekarang, masuk ke wilayah Dusun Beruang yang lahannya sudah menjadi milik warga

Desember nanti, setahun sudah mereka menempati lokasi transmigrasi di Sebunga itu. Tanpa KTP. ‘’Tapi pemilu 2014 nanti, mereka tetap bisa memilih. Ada satu TPS di sana,’’ ujar Camat Sajingan Besar Suhut Firmansyah.

Dari 60 keluarga, kata Bambang, baru 27 keluarga yang mendapat kartu keluarga, tapi juga belum ada KTP-nya. Menurut Suhut, mereka sudah melakukan pengambilan foto retina mata di daerah asal sebelum mereka berangkat transmigrasi, sehingga tak bisa lagi dilakukan pengambilan foto retina mata.

‘’Kita tak tahu apa KTP mereka sudah dicetak atau belum di Jakarta, semoga tahun depan setelah pencetakan KTP diserahkan ke daerah, kita bisa mencetak KTP elektronik mereka,’’ ujar Suhut.

Di luar kesibukan para transmigran mencari penghasilan dengan menjadi buruh sawit dan lainnya, mereka juga memelihara sapi bantuan dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kalimantan Barat dan TNI. Suhut berharap sapi itu menjadi salah satu sumber penghasilan warga transmigran itu. ‘’Per kelompok 30 keluarga diberi 33 sapi, 30 betina tiga jantan,’’ ujar Bambang.

Sapi-sapi itu, menurut Suhut, semula untuk warga perbatasan. ‘’Pengalaman tahun-tahun sebelumnya banyak yang mati, sehingga bantuan sapi tidak bisa bergulir, karena warga Sajingan Besar tak familiar memelihara ternak,’’ ujar Suhut.

Karena itulah, bantuan sapi 2013 ini oleh Camat Sajingan Besar diusulkan agar diserahkan kepada para transmigran dari Jawa, yang terbiasa memelihara ternak. Jika nanti sapinya berkembang, anak pertama dari sapi itu wajib diserahkan ke kandang induk untuk dibagikan kepada warga yang belum kebagian sapi.

Pekarangan Bambang menjadi salah satu kandang sapi itu. ‘’Baru dua bulan ini kami memelihara sapi-sapi itu,’’ ujar Bambang yang juga aktif mengelola mushala dengan cahaya lampu minyak ketika mengajar anak-anak mengaji.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement