REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Indonesia menganut sistem perpajakan self assessment. Dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sebagai lembaga pengumpul pajaknya. Sistem ini menuntut setiap Wajib Pajak bertindak aktif. Karena setiap Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung sendiri pajaknya, melaporkan dan menyetorkannya sendiri.
Saat ini ada dua cara yang disediakan Ditjen Pajak, untuk pelaporan pajak. Pertama laporan pajak disampaikan melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Pajak (KP2KP) di tempat Wajib Pajak terdaftar. Kedua, laporan pajak dengan sistem online melalui aplikasi e-Filing. Hanya saja aplikasi e-Filing baru bisa memfasilitasi untuk laporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi.
Padahal, menurut Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnaen, jika semua laporan pajak bisa dilakukan secara online, akan meminimalisir terjadinya penyelewengan pajak. Apalagi tambahnya, jika sistem online ini bisa langsung terintegrasi dengan bank. "Pajaknya langsung dibayarkan secara online ke bank, dan penagih hanya mengambil copy pembayaran bank tersebut," katanya.
Jika keduanya bisa dijalankan, tentu menurut Tengku, bisa menjadi salah satu instrumen yang efektif dalam sistem law enforcement perpajakan Indonesia. Dengan sistem online, Ditjen Pajak juga bisa memaksimalkan tenaga pegawai pajak saat ini. Mengingat saat ini juga total pegawai pajak baru 30 persen dari total ideal yang dibutuhkan.
Meski begitu Tengku tetap setuju jika Ditjen Pajak menambah pegawainya demi memaksimalkan rasio kepatuhan Wajib Pajak yang saat ini baru 53,7 persen. "Kalau kekuarangan orang bisa pakai tenaga kerja honorer dengan sistem gaji insentif, berapa persen per kutip sebagai upah pungut. Yang penting sukses," katanya.
Dengan sistem online, Tengku juga menuturkan, Ditjen Pajak akan menciptakan sistem transparansi publik. Karena setiap dana yang masuk dan keluar bisa diakses oleh publik. Ada kontrol dari masyarakat. Dalam sistem transparansi ini juga, Tengku meminta pemerintah dan lembaganya melaporkan setiap kegiatan yang dilakukan kepada publik.
"Misalnya, 20 persen dana APBN ke pendidikan tapi masih saja ada sekolah-sekolah yang ambruk. Ada apa? Apa tidak diprogramkan atau sudah diprogramkan tapi uangnya hilang?'' ujarnya.
Tapi diatas semua itu menurutnya untuk menciptakan sistem law enforcement yang baik perlu ada hukuman yang tegas. Hukuman diberikan kepada dua pihak, baik petugas pajak dan pembayar pajak yang menyeleweng.
Secara teori, tiga mekanisme hukum perpajakan --pemeriksaan, penagihan dan penyidikan-- yang disiapkan Ditjen Pajak menurut Tengku sudah bagus. Hanya diperlukan juga peningkatan kualitas tenaga kerja agar tidak mudah tergiur dengan besarnya nilai pajak. Mengingat, siapa saja bisa tergiur dengan besarnya uang pajak. "Orang belum takut menipu pajak. Penjara jadi hukuman yang paling efektif, disita uangnya dan dipenjarakan," katanya.
Karena itu, kerjasama antara Ditjen Pajak dan Polri juga perlu ditingkatkan. Polri juga sebaiknya diberi pelatihan mengenai pengetahuan pajak agar petugas keamanan ini mengerti dengan fungsi dan tugas pajak. "Yang penting petugasnya accountable dan harus transparan biar tak kongkalingkong," katanya.
Tengku mengaku berani untuk melaporkan orang-orang disekelilingnya jika terbukti melakukan tindak penyelewengan. "Di perusahaan kita memang transparan, jika ketahuan hanya ada dua pilihan. Kembalikan uangnya dan berhenti, tidak kembalikan uangnya masuk penjara. Dan itu pernah terjadi," katanya. Karena dalam Islam, menurut Teuku, tidak ada kompromi untuk itu.