Senin 18 Nov 2013 18:44 WIB

Kemdagri: KPK Bisa Sadap DPRD Selama Pilkada

Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah Kemdagri, Djohermansyah Djohan
Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah Kemdagri, Djohermansyah Djohan

JAKARTA--Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Djohan mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi bisa menyadap anggota DPRD selama proses pemilihan kepada daerah tidak langsung.

"Kami membuat klausul dengan melibatkan KPK dalam pengawasan pilkada tidak langsung oleh Kemendagri yang dilakukan KPK. Anggota DPRD akan disadap dan dimonitor oleh KPK, sehingga diketahui jika ada kecurangan terjadi," kata DJohermansyah di Jakarta, Senin.

Hal itu merupakan salah satu usulan Kemendagri dalam menekan praktik politik uang yang terjadi jika pilkada tidak langsung diterapkan oleh Pemerintah pada 2015.

Usulan lainnya adalah dengan melakukan penghitungan suara secara terbuka oleh anggota DPRD, sehingga tidak ada kecurangan yang dilakukan oleh anggota dewan.

"Anggota dewan bisa berdiri dan memilih siapa wakilnya, sehingga diketahui masyarakat. Karena banyak fraksi atau anggota dewan mengusulkan si A, tetapi suara untuk si A itu tidak ada," jelas Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) itu.

Pemerintah melalui Kemendagri mengusulkan untuk mengembalikan kembali wewenang pemilihan kepala daerah, khususnya bupati dan wali kota, ke DPRD. Hal itu, menurut Kemendagri, dapat meminimalisasi terjadinya politik uang dan politik transaksioanal selama pelaksanaan pilkada.

Selama delapan tahun pelaksanaan pilkada langsung, Pemerintah masih menemukan banyak kekurangan dan dampak negatif terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

"Sebanyak 1.013 pilkada langsung terjadi dalam kurun waktu delapan tahun, dan ternyata banyak kekurangan dan ekses negatif. Maka perlu dievaluasi apakah akan terus dilanjutkan atau disempurnakan dengan model lain, yakni pilkada lewat DPRD," jelas Djohermansyah.

Berdasarkan catatan Kemendagri, sedikitnya 75 warga tewas akibat konflik selama proses pilkada di daerah. Selain itu, biaya tinggi pilkada juga menyebabkan 86 persen dari 310 kepala daerah bermasalah hukum terjerat kasus korupsi.

"Memang lebih banyak manfaatnya kalau pemilihan kepala daeah kita pindah ke DPRD, karena kalau tetap bertahan di pilkada langsung mudaratnya jauh lebih besar," ujarnya.REPUBLIKA.CO.ID,

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement