Oleh Teguh Setiawan
'Menjelang malam, kawasan Kota Tua berubah menjadi surga bagi LBGT dan pengidap perilaku seks menyimpang'
REPUBLIKA.CO.ID, Setelah lelah berkeliling Kota Tua Batavia di sepenggal malam, berpindah nongkrong dari satu sudut ke sudut lain di halaman depan Museum Fatahillah dan menyusuri tepi Kali Besar, seorang rekan yang baru mengunjungi tempat itu berkelakar, It’sa place no rule.
Sulit untuk membantah kesan itu. Di Kota Tua, terutama pada malam hari, semua tindakan asusila terlihat nyata dalam jarak sangat dekat di bawah keremangan lampu taman, atau di kegelapan sudut-sudutnya. Bahkan, kadang juga pada siang hari ketika pengunjung masih memadati halaman Museum Fatahillah.
Di kawasan Kota Tua Jakarta itu terdapat tiga museum, yaitu Museum Fatahillah, Museum Wayang, dan Museum Keramik. Kini, kawasan tersebut menjadi salah satu tempat wisa ta atau setidaknya tempat berkumpul, tempat bersantai keluarga, atau pun teman dan sahabat dekat.
Pada hari Sabtu dan Ahad, kawasan di depan museum ber sejarah itu ramai dikunjungi orang. Ada yang sekeluarga, ba pak ibu dan anak-anaknya, ada serombongan anak-anak muda yang sekadar jalan-jalan, tak sedikit pehobi fotografi yang membidik berbagai mo men di kawasan eksotik tersebut.
Pedagang kaki lima berte baran. Ada yang jual balon, makanan, pigura, bahkan ada yang jual jamu sambil membawa seperangkat sound system.
Karena kehadiran mereka tidak ditata, kesan semrawut mendo mi nasi halaman Museum Fatahillah itu. Bagi yang ingin sedikit ‘ber nostalgia’, ada puluhan sepeda ontel yang disewakan untuk pa ra pengunjung dengan harga sekitar Rp 10.000 per jam.
Bukan cuma sepeda ontel yang disediakan, mereka pun menyediakan topi jadul bergaya kompeni, baik untuk wanita mau pun laki-laki. Saya sesekali ke sini sama keluarga, kadang cuma karena pengen sepedaan keliling kota tua ini saja, kata seorang laki-laki paruh baya saat ditanya tentang keberadaannya di ka wasan Kota Tua.
Tapi, di tengah suasana yang menyenangkan itu, ada pula sekelompok kaum lesbian anak baru gede (ABG). Mereka mengambil tempat di sebelah kanan pelataran Museum Fatahillah tepatnya di bawah tiga pohon kelapa dan meriam peninggalan Portugis. Meski hari masih sore, tak malu-malu mereka berangkulan.
Bagi kebanyakan pedagang asongan dan kaki lima, pemandangan itu biasa, tapi tidak bagi mereka yang membawa keluarga. Usia mereka rata-rata antara 15 sampai 18 tahun dan masih duduk di bangku kelas tiga SMP atau SMA.
Mereka datang dari berbagai pelosok Jakarta. Mayoritas menggenggam Black Berry, atau paling tidak menggunakan handphone merek lain yang harganya tak murah.
Bunga (bukan nama sebenarnya), tinggal di kawasan elite Jakarta Selatan. Datang ke Museum Fatahillah pada hari-hari tertentu menggunakan busway, sedangkan Mawar (bukan nama sebenarnya), pasangan la wan jenisnya, berasal dari sebuah permukiman kelas menengah ke atas di Jakarta Barat. Kami anak-anak jari, ujar nya seraya memperlihatkan jari tengah.
Tak ada yang tahu pasti sejak kapan mereka menjadikan sudut kanan Museum Fatahillah sebagai tempat mangkal. Etty mengaku sudah empat bulan, sedang Ani baru tiga bulan.
Hendra Jabrik, aktivis pencinta Kota Tua, memperkirakan mereka relatif baru enam bulan terlihat di kawasan itu. Dari informasi yang diperoleh, Hendra menyebutkan para ABG itu sebelumnya mangkal di salah kawasan Jakarta Selatan.
Ketika matahari mulai tenggelam dan lelampuan taman menyala, para lesbian ABG per lahan-lahan mulai berkurang. Memasuki pukul 20.00 WIB mereka tak terlihat lagi.
Agus, seorang pemulung, mengatakan satu atau dua jam lagi akan ada kelompok lesbian lainnya. Lesbian malam adalah pekerja seks komersial (PSK). Mereka melayani konsumen lesbian, ujarnya. Lihat saja.
Bergeser ke kiri, melewati bagian paling tinggi halaman Mu seum Fatahillah, terdapat ke lom pok seksual menyimpang lainnya, kaum gay.
Pada hari-hari tertentu, Sabtu dan Ahad, jumlah mereka mencapai pu luh an, tapi di hari-hari biasa yang terlihat hanya beberapa. Me reka datang hanya pada ma lam hari dan bertahan sampai dini hari.
Ada pula kelompok PSK yang menyebar sedemikian ru pa yang membuat siapa pun sulit membedakan dengan ma syarakat yang kebetulan ingin berwisata malam, menikmati keindahan arsitektur museum di bawah temaram lampu. Mereka menunggu panggilan dari seseorang yang mencarikan konsumen untuk mereka.
Memasuki dini hari, halaman depan Museum Fatahillah kedatangan kelompok lain; waria. Para waria biasanya tidak begitu lama berdiam di satu tempat.
Terkadang mereka pindah ke se panjang Kali Besar, atau menyebar keberbagai sudut kota. Terkadang menjelang tengah malam juga datang anak-anak berambut gimbal, kelompok ber motor, dan kelompok-ke lom pok lainnya.
Mereka hanya duduk-duduk ngobrol, ber nya nyi, dan pulang, ujar Mi nah, wanita penjual kopi keliling yang telah dua tahun berjual an di tempat itu. Namun, jika kelompok-kelompok itu muncul, kawasan Mu seum Fatahillah menjadi ra wan tawuran. Sepanjang Novem ber 2010 saja telah ter jadi tiga kali pembacokan dengan dua korban meninggal.
Beritanya tidak ada di koran karena memang tidak ada aparat keamanan saat peristiwa terjadi, ujar Deden, masyarakat sekitar Kota Tua. Ke manakah aparat keaman an saat tengah malam. Tak ada yang tahu. Polisi pariwisata ha nya ada jika kebetulan ada acara, itu pun pada siang hari. Sat pol PP Kecamatan Taman Sari tak terlihat lagi pada sore hari.
Terkait dengan kerawanan, Pemprov DKI kabarnya akan membuat tujuh pintu masuk ke kawasan Kota Tua agar lebih mu dah menyeleksi pengunjung. Kegiatan juga dibatasi sampai pukul 23.00 karena mereka menyadari bahwa belakangan mulai banyak keluhan soal aktivitas komunitas terlarang. Kenyataannya, batasan itu tak berlaku tetap saja aktivitas sampai pagi hari.
Sayang, Kota Tua yang semestinya bisa menjadi andalan wisata itu terkotori perilaku me nyimpang. Pemerintah se olah tidak peduli dengan apa yang terjadi saat malam di Kota Tua. Sampai kapan kawasan Ko ta Tua, terutama di depan Museum Fatahillah menjadi wilayah tanpa aturan?