REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum diminta bekerja lebih mandiri dalam menuntaskan persoalan data pemilih tetap (DPT).
"Karena yang memiliki otoritas mengesahkan DPT itu adalah KPU, bukan Kemendagri. KPU saya kira harus mandiri, profesional, dan akuntabel dalam bekerja," tutur Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, Sabtu (2/11).
Ia berpendapat, DPT akurat 100 persen adalah mustahil. Namun, penyisiran data ini tidak boleh selesai sampai di sini saja. Karena itu, sepanjang KPU sudah bekerja maksimal, maka pemilih yang datanya masih tercecer alias belum masuk DPT tetap harus dipastikan hak pilihnya. Caranya, dengan memasukkannya dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK).
Ia menambahkan, KPU dan Bawaslu bersama-sama harus bisa meyakinkan publik kalau mereka sudah bekerja sebaik mungkin. Dua unsur penyelenggara pemilu ini juga harus bisa meyakinkan partai politik, data yang ada bukan hasil manipulasi dan tidak akan digunakan untuk dimanipulasi.
"Kalau mereka bisa meyakinkan hal itu kepada parpol, saya kira kepercayaan dan legitimasi bisa diperoleh dari peserta pemilu," ucapnya.
Titi beranggapan masalah NIK ini muncul karena memang ada WNI yang identitas kependudukannya belum terdata dalam sistem pemerintah. Namun sepanjang mereka benar WNI dan hanya terdaftar satu kali, maka hak pilihnya harus dijamin oleh KPU dengan mendasarkan pada kewajiban yang diperintahkan konstitusi.
"Salah satu tugas KPU memang untuk mengawal hak konstitusional warga negara Indonesia untuk ikut pemilu," imbuhnya.
Ia menambahkan, sebagai penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu harus bekerja sama memikirkan jalan keluar masalah yang masih tersisa ini. Mereka mesti memastikan setiap WNI yang berhak memilih hanya terdaftar satu kali.