REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, Akbar Tandjung mengatakan elektabilitas partai di survei yang cenderung stagnan dan bahkan disalib PDI Perjuangan bisa jadi karena faktor ketokohan Aburizal Bakrie (Ical) yang diusung sebagai capres. Menurutnya, publik tidak merespon secara positif langkah Golkar mencapreskan Ical.
Kondisi ini diperparah dengan berbagai kasus korupsi yang melibatkan sejumlah kader Golkar. Hal ini tentu berbeda dengan PDI Perjuangan yang meski pun belum menetapkan calon, namun terkesan membiarkan Joko Widodo (Jokowi) menjadi capres potensial alternatif yang dielukan masyarakat. "Capres Golkar direspon publik sehingga berdampak pada elektabilitas survei. Sedang Jokowi memang punya magnet menarik massa," katanya.
Kendati begitu, Akbar tidak menjelaskan hal-hal apa saja yang membuat ketokohan elektabilitas Ical rendah di hadapan publik. "Soal itu perlu kajian sendiri," ujarnya.
Ia pun menilai, proses penetapan Ical sebagai capres tidak terbuka. Karena, meski pun ditetapkan melalui proses rapimnas, namun tidak melibatkan DPD II. "Kalau dibilang demokratis, ya bisa saja. Tapi apakah itu terbuka nanti dulu," ujar Akbar.
Sebelum Ical ditetapkan sebagai capres, Dewan Pertimbangan Golkar sebenarnya sudah mengusulkan agar DPP melibatkan unsur DPD II dalam rapimnas penetapan capres. Argumentasi wantim, penetapan capres merupakan kebijakan strategis partai yang tidak bisa dilakukan lewat mekanisme rapimnas biasa.
Menurut Akbar, kunci kemenangan Golkar ada di DPD II sebagai tempat sesungguhnya mesin partai bekerja meraih simpati rakyat. "Tapi usul kami tidak diindahkan. Ya sudah," kata Akbar.
Akbar mengatakan AD/ART Golkar memang menyebut, forum rapimnas diperuntukan bagi pengurus DPD I. Namun menurut pandangan wantim, aturan itu mestinya bersifat fleksibel jika dikaitkan dengan kebijakan penetapan capres.