REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengatakan, pembentukan Detasemen Khusus Anti-Korupsi sesuatu yang mubazir. Ia mengatakan upaya memberantas korupsi bukan dengan memperbanyak lembaga.
"Upaya pemberantasan korupsi itu sudah dilakukan KPK, sehingga wacana pembentukan Densus Anti-Korupsi itu mubazir," kata Abraham disela-sela workshop Lembaga Bantuan Hukum di Makassar, Senin.
Menurut dia, wacana pembentukan Densus itu masih harus dicermati betul, karena di Indonesia kerap pada tata kebijakan itu adalah ide bagus, namun penerapannya di lapangan tidak terlaksana.
Upaya keras yang dilakukan pihak KPK, diakui, belum sepenuhnya memuaskan. Karena selain keterbatasan personel, juga dari sisi anggaran juga cukup terbatas untuk melakukan amanah yang cukup berat tersebut.
Sebagai gambaran, untuk mengawasi dan memberantas kasus korupsi yang terjadi pada 33 provinsi di Indonesia, KPK hanya memiliki sekitar 600 - 700 orang personel dengan jumlah penyidik hanya sekitar 70 orang.
"Jumlah kasus yang masuk ke KPK saja ada 30 - 40 kasus per hari, sementara setelah ditelaah terdapat sekitar 10 persen yang memenuhi untuk ditindaklanjuti," katanya.
Berkaitan dengan hal tersebut, lanjut dia, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, KPK menggunakan skala prioritas dalam memberantas kasus-kasus korupsi.
Menurut dia, KPK hanya menangani kasus "grand corruption" (kasus besar) dengan dua indikator, yakni pelakunya itu adalah penyelenggara negara atau penentu kebijakan. Sedang indikator lainnya, kasus itu harus signifikan.
"Karena itu untuk kasus korupsi di daerah, jika itu melibatkan gubernur, wali kota, ketua DPRD provinsi atau kabupaten/kota, barulah kita tangani. Sedang pada level bawahnya, diserahkan pada pihak kepolisian dan kejaksaan setempat," katanya.