REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Proses demokrasi di Indonesia dinilai terlalu mahal. Sehingga dianggap memiliki benang merah dengan praktik dugaan korupsi yang merugikan keuangan negara.
Wakil ketua DPR Pramono Anung mengatakan, mahalnya demokrasi di Indonesia dapat dilihat dari besarnya biaya yang dikeluarkan setiap kelompok.
Kondisi itu jauh berbeda dengan proses demokrasi yang dijalankan di negara lain yang menerapkan politik biaya murah dan mengutamakan transparansi dalam penggunaan dana.
Perbandingan tentang mahalnya biaya demokrasi di Tanah Air tersebut dapat dilihat dari jumlah dana sumbangan dari pihak ketiga sebagaimana dilakukan di Australia.
Di negara itu, peserta sebuah proses demokrasi yang sedang berlangsung harus mengumumkan secara terbuka dana sumbangan yang masuk jika mencapai 10 ribu dolar AS.
Sedangkan di Indonesia, keharusan untuk mengumumkan secara terbuka itu jika telah mencapai minimal 100 ribu dolar AS untuk perseorangan dan 750 ribu dolar AS untuk perusahaan.
"Itu membuktikan bahwa biaya politik di Indonesia sangat mahal," katanya, Kamis (24/10).
Kondisi itu menjadi semakin mahal karena proses demokrasi yang akan dilalui setiap orang mencapai delapan jenis. "Dalam lima tahun bisa delapan kali. Mulai dari presiden hingga kepala desa," kata politisi PDI Perjuangan itu.
Menurut Pramono, fenomena mahalnya proses demokrasi di Indonesia tersebut cukup mengkhawatirkan. Karena dapat berdampak langsung pada perilaku korupsi.
Kondisi itu menjadi tanggung jawab bersama agar proses demokrasi di Indonesia tidak perlu mengeluarkan biaya mahal dan kembali ke jalur yang benar.
Tanpa harus menghabiskan biaya yang besar, seluruh elemen bangsa harus dapat memanfaatkan proses demokrasi untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat.
"Kesejahteraan itu esensi dari demokrasi. Biaya mahal itu salah satu penyebab perilaku korupsi, walau penyebab utamanya adalah faktor keserakahan," katanya.