REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PPP menyatakan sikap tidak setuju atas diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2013 terkait Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan disampaikan pada masa sidang DPR.
"Perppu ini tidak sesuai dengan konstitusi, karena itu PPP sulit untuk memberi persetujuan apalagi terkait peradilan," kata anggota Komisi III DPR dari PPP, Ahmad Yani, di gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (22/10).
Yani mengatakan apabila PPP menyetujui Perppu tersebut maka sama artinya partai tersebut setuju dengan pelanggaran konstitusi. Namun, dia menjelaskan, DPR akan memberikan sikap secara resmi terkait Perppu tersebut pada masa sidang berikutnya.
"Perppu itu domainnya memberi persetujuan atau tidak namun apabila ada alasan kuat dari fraksi lain untuk mengusulkan hak menyatakan pendapat maka PPP tidak mampu menghalanginya," ujar Yani.
Dia menilai Perppu tersebut bermasalah dari sisi format dan substansinya. Yani menjelaskan, formatnya tidak sesuai karena Perppu tersebut dikeluarkan tidak dalam keadaan genting dan memaksa. Selain itu, dari segi substansi, perppu itu banyak menabrak kewenangan institusi lain misalnya Komisi Yudisial (KY) yang dalam peraturan tidak diberi kewenangan untuk menyeleksi hakim konstitusi.
"Dalam konstitusi, kewenangan menyeleksi itu ada di DPR, pemerintah, dan Mahkamah Agung. Apabila mau transparan maka masing-masing wajib membentuk Panitia Seleksi independen," tegasnya. Dia mengatakan, PPP mengusulkan agar Undang-Undang tentang MK direvisi dan tidak perlu dikeluarkan Perppu nomor 1 tahun 2013.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Kamis (17/10) menandatangani Perppu Nomor 1 tahun 2013 tentang perubahan kedua atas undang-Undang nomor 24 tahun 2003 tentang MK. Ada tiga substansi dalam Perppu tersebut, yaitu penambahan persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi, memperjelas mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi, serta perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi.