Senin 21 Oct 2013 17:04 WIB

Keabsahan Pilkada Maluku Tenggara Dipertanyakan

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Heri Ruslan
Pilkada (ilustrasi)
Foto: IST
Pilkada (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Salah satu pasangan calon bupati/wakil bupati pada Pilkada Maluku Tenggara (Malra) 2013, Thaher Hanubun dan Gerry Habel, mengadu ke Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Mereka menduga telah terjadi pelanggaran serius yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah setempat.

Kuasa hukum pasangan Thaher-Gerry, Abdul Fatah Pasolo menuturkan, kliennya merasa ada yang tidak beres dengan penyelenggaraan Pilkada Maluku Tenggara yang digelar beberapa bulan lalu. Kejanggalan tersebut terendus setelah KPU Malra memutuskan secara sepihak untuk menunda pelaksanaan pemungutan suara, yakni dari yang seharusnya dilakukan pada 11 Juni menjadi 17 Juni 2013. 

Penundaan tersebut dilakukan KPU setempat dengan beberapa alasan. Di antaranya karena ditemukannya kasus pembukaan kotak suara pada malam sebelum hari pencoblosan.  Di samping itu, penundaan juga dikarenakan jadwal Pilkada Malra bersamaan dengan Pilkada Kabupaten Kota Tual dan Pilkada Provinsi Maluku. “Namun yang jadi persoalan, kami mendapat informasi bahwa penundaan pilkada tersebut ternyata tidak melalui mekanisme yang semestinya, juga tanpa sepengetahuan Mendagri,” kata Abdul Fatah, Senin (21/10).

Ia memaparkan, pada pasal 149 ayat (1) dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 17 Tahun 2005 disebutkan, penundaan pilkada hanya dapat dilakukan oleh beberapa sebab. Di antaranya adalah karena bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan gangguan lainnya di seluruh atau sebagian wilayah pilkada. 

Selanjutnya, pada ayat (4) di pasal yang sama dijelaskan, penundaan seluruh atau sebagian tahapan pemilihan bupati/wali kota mesti diajukan oleh gubernur kepada Mendagri atas usulan KPU kabupaten/kota melalui pimpinan DPRD setempat. Mekanisme ini juga diatur dalam Peraturan KPU No 9 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada. 

Berdasarkan kedua regulasi tersebut, kata Abdul Fatah lagi, yang memiliki kewenangan menunda pilbup atau pilwakot sebenarnya adalah Mendagri, bukan KPU kabupaten/kota. “Akan tetapi, belum lama ini pimpinan DPRD Malra mengatakan kepada kami, mereka ternyata tidak pernah menerima usulan penundaan pilkada dari KPU setempat. Jadi, ada aturan yang dilanggar di sini,” ujarnya.

Oleh karena itu, pekan lalu pihaknya telah mengirimkan surat kepada Gamawan untuk mengklarifikasi masalah ini. Salah satu isinya mempertanyakan, apakah penundaan Pilkada Malra dilakukan dengan sepengetahuan Mendagri? Selain itu, kliennya juga ingin meminta kepastian, apakah Gubernur Maluku pernah mengirimkan surat ke Mendagri terkait penundaan pilbup tersebut? 

“Jika ternyata Mendagri menjawab tidak, maka pelantikan bupati dan wakil bupati Malra terpilih adalah inkonstitusional. Kami siap mem-PTUN-kan SK pelantikan tersebut,” cetusnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement