Ahad 20 Oct 2013 10:00 WIB

'Tak Ada Pengemis' di Kebon Singkong

Tiga pengemis, ilustrasi
Foto: Blogspot
Tiga pengemis, ilustrasi

Ahmad Reza, Lilis Sri Handayani

REPUBLIKA.CO.ID, Pertanian Utara, Klender, Jakarta Timur, lebih lama dikenal dengan sebutan Kebon Singkong. Kawasan padat huni dengan gang-gang sempit di kanan dan kiri jalan itu pada mulanya merupakan ladang singkong.

Hampir empat rukun warga yang terdapat di sana dahulunya dijadikan lahan bertanam ketela. Namun, memasuki awal 1980-an, pembangunan rumah mulai mengikis lahan pertanian sampai tak lagi menyisakan tanaman singkong di sana. "Sekarang hanya rumah sama toko," kata Roni, warga sekitar.

Permukiman di Pertanian Utara sejatinya tak hanya terkenal dengan sebutan Kebon Singkong. Kawasan yang berbatasan dengan Cipinang Muara itu juga sering disebut "Kampung Jablay". "Jablay" mengarah pada perempuan yang menawarkan "jasa cinta".

Menurut Udin, warga lainnya, pascakerusuhan 1998 banyak wanita penghibur yang biasa mangkal di lokalisasi Prumpung, Jatinegara, tinggal di kampung kelahirannya itu. Faktor pendorongnya, kata Udin, karena rumah kontrakan di Kebon Singkong yang terbilang murah dan dekat dengan lokalisasi.

Kehadiran para wanita penghibur memancing para pria di luar Kebon Singkong merapat. Memasuki tahun 2000 hingga 2008, kata Udin, kriminalitas meningkat. "Kebon Singkong jadi tempat mabok, judi, sampai rawan maling motor," kata dia.

Beragamnya warga yang tinggal di sana juga menjadikan kawasan Klender rawan kohesi sosial. Pertengahan Agustus kemarin bentrokan antarwarga pecah. Dua kubu warga yang berasal dari Cipinang dan Kebon Singkong saling lempar batu. Bahkan, ada sebagian warga yang terlihat membawa senjata tajam. 

Penyebabnya sepele. "Hanya karena ulah ledakan petasan," kata Kasubag Humas Polres Jakarta Timur Kompol Didik Hirayadi. 

Tak habis sampai di sana, Kebon Singkong juga punya sematan lain, yakni "Kampung Pengemis". Itu lantaran banyak pengemis, baik yang sudah menetap atau musiman mengontrak di sana.

Menurut salah satu tokoh di sana, Pak Haji--begitu pria ini minta dipanggil--setidaknya ada empat rukun warga yang ditinggali para pengemis. Tapi, Pak Haji "naik urat" ketika tempat kelahirannya disebut sebagai Kampung Pengemis. 

Walau tak ada data jelas perihal jumlah pengemis yang mengontrak di sana, dia memerinci dua rukun tetangga yang paling banyak ditinggali. "Paling banyak itu tinggal di RT 01/RW 01 sama RT 08/RW 02. Tapi, yang paling banyak ya di RT 01," kata dia.

Kebon Singkong menjadi padat. Gang-gang sempit yang dijepit rumah-rumah warga. Salah satu pemilik rumah kontrakan yang tak mau disebutkan identitasnya mengaku tak berkeberatan rumah kontrakannya dihuni para pengemis. "Yang penting bayarnya tepat waktu," ujar dia.

Pemilik 10 pintu kontrakan ini tak memasang tarif sebesar Rp 250 ribu per bulan. Harga itu untuk satu kamar dengan ukuran 3x5 meter dengan kamar mandi luar. Jika kamar mandi berada di dalam kamar, maka harga bisa mencapai Rp 500 ribu.

Menurut dia, para pengemis yang kebanyakan mendiami kontrakan banyak berasal dari Indramayu. Ketika memasuki Ramadhan, kata dia lagi, jumlah yang datang semakin meningkat. Jika pada hari biasa dari 10 pintu kontrakannya hanya terhuni empat, maka jika Ramadhan tiba semua kamar kontrakan terisi penuh.

Para pengemis tersebut hanya membawa peralatan seadanya. Seperti tikar, kasur lipat, serta pakaian seadanya. "Ya, hidupnya sederhana kalau di kontrakan," ujar dia.

Ketua RT 01/RW 01 Kebon Singkong, Warjo, menolak bicara ketika disambangi Republika, Kamis (19/9) malam. Alasan dia, "Sebelum dapat izin Pak RW, saya takut disalahkan." 

Pria yang saban hari berjualan makanan ringan di Kebon Singkong ini pun mengantarkan Republika ke kediaman Ketua RW 01 Pertanian Utara Muhamad Sayuti. Saat ditemui, Sayuti tengah duduk santai dengan sarung dan baju Muslim putih tangan panjang di depan rumahnya yang tak jauh dari tempat tinggal Warjo.

Warjo memulai pembicaraan. "Ada wartawan mau ngobrol," kata Warjo menerangkan maksud kedatangan Republika. Sayuti kontan terdiam. Padahal, sebelum kami datangi, dia tengah bersenda-gurau dengan temannya. "Maksudnya apa datang ke sini?" tanya Sayuti ketus.

Mendengar pertanyaan soal sematan Kampung Pengemis karena banyak pengemis yang tinggal di lingkungan RW-nya, Sayuti yang mengaku mantan Marinir itu makin ketus. "Nggak betul itu. Nggak ada pengemis di sini. Jadi, jangan bikin berita macem-macem," kata dia.

Sayuti lantas berdiri meninggalkan Republika dan Warjo. Sepertinya, Warjo merasa sungkan Republika diperlakukan ketus, ia pun segera angkat bicara, tapi dengan nada ramah.

"Jadi Mas, bohong itu kalau di RT 01/RW 01 dibilang banyak pengemis. Kampung ini tuh kayak kampung di Jakarta. Semua yang ngontrak pada kerja, ada yang sopir, pedagang, macem-macem dah.""Artinya, di RT 01 tak ada pengemis yang mengontrak?" tanya Republika.

"Nggak ada," jawab dia. "Jadi, berita yang sebut RT saya banyak yang di-tinggalin pengemis itu bohong. Bisa dicek." 

Saat berbincang itu, sekitar lima meter dari lokasi kami, terlihat seorang perempuan tua dengan pakaian compang-camping dan tas selempang yang terbuat dari lilitan kain sarung memasuki salah satu gang di Kebon Singkong. Gang itu pula jalan menuju rumah Warjo.

"Memang ada sih, beberapa pengemis yang ngontrak di Kebon Singkong, tapi tak ada yang di RT 01," kata dia. "Mungkin di RT 08/RW 02, dekat sungai."

Salah satu pengurus RW 02, saat ditemui Republika, jawabannya serupa dengan jawaban Warjo. Berkelit. "Bohong, yang banyak ya di RW 01," begitu kata dia.

Saat Warjo menjawab pertanyaan Republika, Sayuti kembali menghampiri kami. Warjo langsung berhenti bicara. "Saya ini mantan Marinir,'' kata Sayuti mengulang pernyataannya yang tadi ia sampaikan. ''Jadi sudah, jangan nulis soal pengemis," lanjut dia. 

Di Indramayu, Raswad, juga menampik anggapan desanya memasok pengemis ke Jakarta. Kepala Desa Panyindangan Kulon itu menilai anggapan adanya warga Panyindangan Kulon yang menjadi pengemis musiman di Jakarta sebagai hal yang bisa mencoreng nama baik daerah. Karena itu, dia enggan memberikan penjelasan lebih lanjut.

 Namun, Raswad mengakui memang ada yang menjadi pengemis musiman di Jakarta. Dia pun tidak bisa mencegah hal tersebut. Apalagi, setiap warga yang berangkat ke Jakarta untuk menjadi pengemis musiman tidak pernah meminta surat izin atau surat jalan dari pihak desa.

 "'Masa, kami merazia satu per satu warga yang hendak keluar desa?'' kata Raswad.

Tetapi, Raswad mengaku tidak tahu secara pasti jumlah warganya yang menjadi pengemis musiman. Pasalnya, saat ada pendataan dari pihak desa, tidak ada satu pun warga yang mencantumkan pekerjaannya sebagai pengemis.

Raswad menilai, kepergian warga ke Jakarta untuk menjadi pengemis musiman sebenarnya lebih disebabkan sikap mental. Mereka ingin mendapatkan harta yang lebih banyak. Padahal, secara ekonomi, warga yang menjadi pengemis musiman sebenarnya cukup mapan, bahkan rumahnya pun bagus.

 ''Tanpa menjadi pengemis di Jakarta pun mereka sebenarnya bisa tetap hidup di desa,'' tegas Raswad.

Raswad mengungkapkan, desanya termasuk desa yang cukup subur. Dalam setahun, para petani di desanya bisa dua kali mengalami musim tanam padi. Ditambah lagi, hasil budidaya tambak juga berlimpah, yang biasanya dikirim ke berbagai daerah.

Meski begitu, data desa menyebutkan, 20 persen dari jumlah penduduk Panyindangan Kulon yang mencapai sekitar 7.000 jiwa itu memilih merantau ke Jakarta. Bukan sebagai pengemis, menurut Raswad. ''Di Jakarta mereka menjadi pemulung,'' kata dia. 

Tak sedikit warga yang sukses dari hasil memulung. Saat Lebaran tiba, jalan desa pun akan dipenuhi warga yang pulang dari Jakarta dengan membawa kendaraan mereka. ''Menjadi pemulung di Jakarta itu hasilnya lumayan besar,'' tutur pria yang juga mantan bos pemulung di Jakarta tersebut. 

Muka Baru

Data Penertiban dan Penjangkauan Sosial Dinas Sosial DKI Jakarta selama Ramadhan mencatat ada 830 penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS).

Dalam catatan tersebut, pengemis menempati tempat pertama dengan jumlah 244. Disusul gelandangan sebanyak 128, pekerja seks komersial (PSK) 74, dan beberapa PMKS lainnya seperti waria, penyandang cacat, pengamen, pemulung, anak jalanan, serta pembawa kotak amal. 

"Para pengemis biasanya datang berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah. Indramayu memang penyumbang di antaranya," kata Kepala Bidang Pelayanan dan Rehabillitasi Dinas Sosial DKI Jakarta Ucu Rahayu. 

Menurut Ucu, dari pendataan pengemis yang berhasil dipulangkan, 90 persen merupakan muka baru. Artinya, ratusan pengemis baru memiliki pengalaman pertama mencari "berkah" di Jakarta.

Ucu meyakini kedatangan pengemis muka baru itu lantaran program yang dilakukan pihaknya, ihwal penanggulangan PMKS seperti razia dan penempatan panti atau yayasan, berjalan efektif. Pengemis muka lama, kata dia lagi, seperti kapok untuk kembali. 

Meski begitu, Dinas Sosial DKI Jakarta tetap merasa kesulitan untuk menertibkan kebiasaan para pengemis datang selama Ramadhan. Belum meratanya tingkat kesejahteraan pembangunan di daerah yang berdampak pada ketersediaan lapangan pekerjaan menjadi alasannya.

Tak hanya itu, kata Ucu, selama Ramadhan, masyarakat seperti berlomba-lomba untuk bersedekah. "Akhirnya Jakarta jadi ladang untuk para pengemis," kata dia.

sumber : Republika/Priyantono Oemar
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement