REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, mengatakan sebaiknya Majelis Kehormatan Hakim (MKH) Mahkamah Konstitusi (MK) dibentuk dengan anggota yang diusulkan satu dari Presiden, satu dari Mahkamah Agung (MA), satu dari DPR, satu dari Komisi Yudisial (KY), dan satu dari MK yang sekaligus bertindak menjadi ketua MKH.
''Itu idealnya. Tapi, terserah pemerintah sajalah maunya apa,'' ujar Jimly saat dihubungi, di Jakarta, Selasa (8/10). Menurut Jimly, Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa kewenangan KY hanya mengawasi MA dan peradilan di bawahnya.
Hubungan MA, MK, dan KY tercantum pada Bab IX tentang Kekuasaan Hakim. ''MA diatur Pasal 24 A, KY Pasal 24 B, dan MK di Pasal 24 C,'' jelas Jimly. Jimly yang ikut menggodok Bab IX itu menegaskan, MK semula ada di pasal 24 B dan KY di Pasal 24 C. Kemudian posisi MK dan KY di UUD 1945 diputar, MK jadi 24 C.
''Ini ada alasannya. KY dinaikkan ke atas karena saat itu pemikiran pembuat UUD 1945 adalah ingin memastikan bahwa KY tidak dikaitkan atau disangkutpautkan dengan MK. Artinya, KY tidak bisa mengawasi MK,'' papar Jimly. Untuk memastikan hal itu lah kemudian pembuat UUD memutar posisi KY dari Pasal 24 C ke Pasal 24 B. Artinya, kewenangan KY hanya untuk MA dan peradilan di bawahnya.
Jika kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jadi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti Undang Undang (Perppu) untuk menyelamatkan MK dengan memberi kewenangan KY mengawasi hakim konstitusi, itu berarti Presiden SBY telah melanggar UUD 1945.
Atas dasar itu, lanjut Jimly, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materil UU 22 Tahun 2004 tentang KY yang diajukan hakim agung pada 26 Agustus 2006. MK menyatakan, hakim konstitusi bukan bagian dari kewenangan KY. ''Saya khawatir jika Presiden SBY menerbitkan Perpu soal pengawasan KY terhadap MK akan menjadi preseden buruk ke depannya, karena putusan MK yang final dan mengikat itu ternyata bisa dimentahkan oleh Perpu.''
Sebelumnya, Jimly melontarkan kritik tajam atas langkah Presiden SBY yang hendak menerbitkan Perppu untuk menyelamatkan MK. 'Perppu MK itu inkonstitusional, karena kasus MK tidak membuat negara dalam keadaan genting atau berbahaya sehingga bersifat memaksa. Jadi tidak perlu ada Perppu karena tidak menyelesaikan masalah,'' jelas Jimly.