Kamis 03 Oct 2013 10:44 WIB

ICW: Penangkapan Ketua MK Malapetaka Konstitusi

Akil Mochtar
Foto: Antara
Akil Mochtar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penangkapan hakim AM oleh Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan malapetaka konstitusi di tanah air. Hal ini diungkapkan anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (IWC) Emerson F Yuntho.

"Sekaligus juga melengkapi fakta bahwa korupsi telah terjadi di semua lembaga negara," katanya di Jakarta, Kamis (3/10).

Ia juga meminta kepada KPK harus menelusuri dugaan suap yang melibatkan AM yang juga Ketua MK pada kasus-kasus yang lainnya. Bahkan, kata dia, diduga bukan kali ini saja, AM terlibat dalam suap saat menjabat sebagai Ketua MK.

Ia juga menyoroti perlunya ditinjau ulang atas masuknya sejumlah politisi di beberapa lembaga negara.

"Perlu ditinjau ulang masuknya sejumlah politisi. Kami sendiri sudah menegaskan jangan pilih politisi di MK apalagi sebagai ketua MK," katanya.

Kendati demikian, ia mengharapkan agar MK tetap bisa bekerja seperti biasanya sekaligus melakukan upaya pembenahan khususnya memperkuat pengawasan di MK.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Ketua Mahkamah Konstitusi berinisial AM yang diduga menerima uang terkait sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

"Penyidik menangkap tangan beberapa orang di kompleks Widya Chandra, dengan inisial AM, CHN, dan CN," kata Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi, dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis dini hari.

Johan mengatakan, AM merupakan Ketua Mahkamah Konstitusi, sementara CHN seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan CN seorang pengusaha.

Di Widya Chandra, penyidik menyita uang dolar Singapura, perkiraan sementara, senilai Rp 2 miliar hingga Rp3  miliar, yang diduga merupakan pemberian CHN dan CN kepada AM terkait yang diduga terkait sengketa pilkada di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

Setelah itu, lanjut Budi, KPK juga melakukan operasi tangkap tangan di sebuah hotel di wilayah Jakarta Pusat, dan menahan dua orang yang dengan inisial HB yang merupakan kepala dinas dan DH yang merupakan pihak swasta.

"HB seorang kepala daerah. DH itu swasta, diamankan di sebuah hotel di wilayah Jakarta Pusat," kata Johan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement