Selasa 01 Oct 2013 22:17 WIB

Buruh Tolak Rancangan Inpres, DPRD Surati Bupati dan Presiden

Rep: Alicia Saqina/ Red: Djibril Muhammad
Buruh
Buruh

REPUBLIKA.CO.ID, PADALARANG -- Sebanyak lima ribu buruh dari ratusan perusahaan yang berlokasi di Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat, Selasa (1/10), ramai-ramai turun dan memenuhi jalan utama di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) KBB.

Ribuan kaum serikat pekerja ini, satu suara menolak rancangan Instruksi Presiden (Inpres) tentang Pedoman Kebijakan Upah Minimum 2014, yang merugikan nasib mereka itu.

Melihat dan menanggapi aksi damai para serikat pekerja itu, DPRD KBB pun angkat bicara. Ketua DPRD KBB Aa Umbara Sutisna mengatakan, merespons dan menindaklanjuti aspirasi para pekerja yang sudah didengar dan diterima, pihaknya di waktu yang bersamaan langsung menyampaikan surat rekomendasi kepada Bupati KBB Abu Bakar dan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.

"Kepada yang terhormat saudara Bupati Bandung Barat di Ngamprah, hari ini tanggal 1 Oktober 2013 DPRD Bandung Barat sudah menerima aspirasi para pekerja yang menyatakan sikap untuk menyepakati pengkajian ulang Instruksi Presiden tentang pedoman kebijakan upah minimum tahun 2014," katanya, Selasa (1/10), di depan Gedung DPRD KBB, Jalan Tagog Raya, Padalarang, Jawa Barat.

Ia menjelaskan, selain kepada Bupati Bandung Barat untuk segera merespons aspirasi para kaum pekerja ini, surat rekomendasi pun DPRD kirimkan langsung kepada pemerintah pusat, yaitu Presiden.

Bersamaan dengan hal tersebut, Aa beserta jajarannya menembuskan rekomendasi serupa kepada DPR RI, Menko Perekonomian, Menteri Perindustrian, dan Menakertrans.

Ketua Federasi Serikat Pekerja (FSP) Kimia Energi Perdagangan (KEP) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) KBB dan Kabupaten Bandung, Bawit Umar mengatakan, jelas sudah Inpres yang tak berpihak pada kaum buruh itu sangat menyengsarakan pekerja.

"Jelas ini menyakitkan para pekerja. Kenaikan upah yang dikaji setiap dua tahun sekali itu, sangat menyakitkan. Yang setahun sekali saja sakit," katanya.

Ia mengungkapkan, belum lagi besaran kenaikannya yang tidak boleh lebih dari 20 persen. "Untuk katagori bidang umum itu paling tinggi 10 persen, padat karya lima persen. Jelas tidak ada cara lain, kami harus tolak Inpres ini," ujarnya.

Oleh Sebab itu, para serikat buruh KBB pun meminta DPRD untuk menyampaikan hal tersebut kepada Presiden. Sebab bukannya tanpa alasan kaum buruh selalu bergejolak atas hal ini.

Dalam Inpres disebutkan kenaikan upah minimum pekerja tidak lebih dari 20 persen, sedangkan Bawit dan ribuan rekannya di KBB menuntut kenaikan yang ideal yaitu, sebesar 60 persen di 2014.

Ia menegaskan, hal tersebut bukan dengan seenaknya dikemukakan. Namun gabungan serikat pekerja (GSP) KBB ini memiliki perhitungan valid yang menguatkan tuntutan mereka itu.

Menurut dia, kenaikan UMK yang sebesar 60 persen di tahun depan itu, teramat sangat wajar untuk direalisasikan pemerintah.

"Akibat kenaikan BBM beberapa waktu lalu, daya upah kami pun menurun 30 persen. Tolong kembalikan upah kami itu. Belum lagi KHL (Komponen Hidup Layak) dan UMK yang sangat tak sama dengan para pekerja yang berada di wilayah Bekasi," paparnya.

Bawit menerangkan, di tahun lalu saja UMK pekerja katagori kelompok II di Bekasi ialah sebesar Rp 2.200.000. "Masa bagi kaum pekerja di sini ada selisih Rp 500 ribu. Padahal kita satu wilayah dengan mereka," katanya menegaskan.

Ketidakadilan lainnya pun masih dirasakan GSP KBB. Bawit menjelaskan, pihaknya pun menginginkan pemberlakuan upah minimum sektoral kota/ kabupaten (UMSK) di KBB. Sebab, para buruh di KBB belum merasakan idealnya UMSK ini.

Bawit menuturkan, adanya UMSK sangat lah penting, sebab hal tersebut erat kaitannya dengan risiko-risiko kerja yang sehari-hari dihadapkan pada kaum buruh, yang harus mendapatkan jaminannya.

"Mungkin buruh yang bekerja di garmen resikonya tertusuk jarum. Tapi di kami, ada yang sedang bekerja di tambang kemudian ada batu jatuh, meninggal," katanya.

KHL lainnya pun masih disoroti. Bawit dan rekan-rekan terkait penggunaan kelistrikan, ternyata hanya ditanggungkan listrik sebesar 900 watt untuk dua gantungan lampu. "Lalu setrikaan dan rice cooker mau dicolokkan ke mana," sindirnya.

Kaum buruh KBB pun mengkritisi kerja Dewan Pengupahan Nasional yang turut menetapkan jumlah kenaikan UMK mereka. Bawit mengatakan, tugas Dewan Pengupahan seharusnya hanya lah menyarankan dan memberi masukan.

"Hal ini berdasarkan undang-undang nomor 13 tahun 2003. Hak-hak kami pun ada di pasal 68-nya," ucapnya tegas.

Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi KBB Aoas Kaosar mengatakan, atas reaksi para buruh ini pihaknya terlebih dulu akan turut memantau jalannya Inpres ketika sudah dilaksanakan. Sebab, atas kebijakan tersebut yang berkewenangan ialah pemerintah pusat.

Ia menjelaskan, yang pasti pihaknya akan mengupayakan jalan keluar yang ideal bagi kedua belah pihak, baik antara perusahaan dan kaum buruh.

"Mohon ada pertimbangan dari pemerintah pusat lah, agar dalam menetapkan keputusan-keputusan tersebut, kawan-kawan ini turut dilibatkan. Agar komunikasinya pun baik, pemerintah juga ikut mendengar apa-apa yang mereka ingin sampaikan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement