REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis kebijakan publik dari Universitas Paramadina, Dinna Wisnu menduga kebijakan mobil murah dan ramah lingkungan yang digagas pemerintah berkaitan dengan kepentingan pemilu 2014. Secara jangka pendek, kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2013 tentang Low Cost Green Car (LCGC) itu dinilai menguntungkan pemerintah yang berkuasa saat ini.
"Ini dampak jelek berkaitan dengan tahun pemilu. Secara jangka pendek yang paling diuntungkan pemerintah berkuasa, karena target mereka meningkatkan pertumbuhan ekonomi di akhir tahun nanti," kata Dinna dalam diskusi bertajuk Mobil 'Murah Diuji Transportasi Layak Dinanti' di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (28/9).
Pemerintah yang saat ini berkuasa, mau tidak mau harus mempertanggungjawabkan kepemimpinanannya menjelang akhir masa jabatan. Pertumbuhan ekonomi menjadi parameter yang paling disoroti untuk menilai berhasil atau tidaknya kepemimpinan penguasa. Penilaian keberhasilan tersebut juga menjadi tolak ukur bagi masyarakat terhadap kendaraan politik penguasa saat ini. Apakah masih laik dipilih pada pemilu 2014 atau tidak.
Cara yang paling cepat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, lanjut Dinna, adalah dengan meningkatkan konsumsi. Produksi mobil murah otomatis akan merangsang minat beli masyarakat. Terutama kelas menengah yang lebih memprioritaskan kendaraan sebagai gaya hidup. Nyatanya, pemesanan mobil murah hingga saat ini telah mencapai angka 70 persen. "Orang dipaksa belanja, tapi orientasinya jelas-jelas hanya menaikkan pertumbuhan ekonomi. Nanti yang bereskan masalahnya setelah pemilu ini siapa," ungkapnya.
Di sisi lain, kebijakan mobil murah yang digadang akan membantu memecahkan persoalan transportasi terjangkau disebut Dinna mengawang-awang. Bahkan cenderung membohongi masyarakat. "Ini kebohongan publik yang luar biasa. Kebijakan mobil murah ini tidak konsisten, kalau dicek satu-satu, murah dari mana karena tetap minum bensin banyak, lalu green dari mana karena tetap pakai BBM," jelasnya.