REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tuduhan yang dilontarkan Muhammad Nazaruddin terkait adanya penggelembungan dana (mark up) dalam proyek KTP elektronik (e-KTP), terus mendapat sanggahan dari Kementerian Dalam Negeri.
Instansi pimpinan Gamawan Fauzi itu menegaskan, mereka sejak awal sangat berhati-hati dalam melaksanakan proyek tersebut. “Kami sudah menjalankannya sesuai dengan ketentuan yang ada, bahkan dengan pengawalan berlapis-lapis,” kata Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Restuardy Daud, Kamis (26/9).
Ia menuturkan, pelaksanaan proyek e-KTP sedari awal sudah melalui tahapan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Dari hasil audit tersebut, tidak ada satu pun yang menyatakan adanya penyimpangan, apalagi penggelembungan dana.Sebelum pengumuman lelang, kata Ardy, Kemendagri sudah meminta BPKP untuk mengaudit HPS (harga perkiraan sendiri—Red) yang mereka buat.
“Bahkan, kami turut mengecek dan meminta harga pada beberapa produsen secara resmi, sebelum harganya ditentukan,” ujarnya. Setelah itu, instasinya juga menyurati dan mempresentasikan rencana pengadaan e-KTP kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kemudian, KPK memberikan rekomendasi supaya lelang proyek ini dilakukan secara elektronik dan melibatkan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP).
“Dan itu juga sudah kami lakukan,” imbuhnya. Selanjutnya, kata Ardy lagi, setelah tender dilakukan pun Kemendagri meminta lagi BPKP untuk melakukan audit kembali sebelum kontrak ditandatangani. Sebanyak 15 kementerian dan lembaga lainnya juga turut mengawal proses ini secara teknis.
“Semua upaya tersebut menunjukkan, kami melaksanakan proyek ini dengan prinsip kehati-hatian. Baik dari proses awal, maupun dalam penentuan harganya,” tegas Ardy.
Sebelumnya, kuasa hukum mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, Elza Syarief, menyebutkan adanya indikasi penggelembungan harga dalam pengadaan e-KTP di Kemendagri.
Tak tanggung-tanggung, besaran mark up tersebut, menurutnya, mencapai 45 persen dari nilai proyek bernilai Rp 5,8 triliun itu.
“Penggelembungan anggaran dilakukan melalui persekongkolan yang melibatkan Percetakan Negara RI (PNRI), badan usaha milik negara yang menjadi pemenang dan pelaksana proyek e-KTP,” kata Elza.