Selasa 24 Sep 2013 15:10 WIB

Tergiur Jadi Pegawai Honorer Pajak, Seorang Ibu Rela Bayar Rp 750 Juta

Rep: Neni Ridarineni/ Red: A.Syalaby Ichsan
Penipuan (ilustrasi).
Foto: calvarychapelabuse.com
Penipuan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Seorang warga Jawa Tengah mengaku membayar uang ratusan juta rupiah untuk bisa menjadi pegawai pajak. Sayangnya, Puteri (nama samaran warga itu), tertipu karena dia tak juga menjadi PNS bergengsi itu.

Dia menjelaskan, awal kejadian  bermula dari pertemuan Winarno dengan korban (red. Putri) di tempat kerja korban , Boyolali, pada  3 Maret 2012 . Winarno membujuk korban supaya anaknya masuk ke perpajakan dan akan diterima sebagai pegawai honorer tetapi dengan syarat membayar Rp 750 juta jika sudah mendapatkan SK pengangkatan.

Pertemuan dilanjutkan ke rumah korban. Setelah anak dan beberapa saudara korban berhasil diyakinkan, akhirnya mereka disuruh mengikuti tes tertulis di rumah kediaman Asep Sholahudin dengan alamat PT Cemerlang Perum Griya Lopang Indah Kecamat Serang, Banten pada  14 Maret 2012.

Waktu itu, ada sebelas orang yang ikut tes. Keesokan harinya, mereka diberitahu  lulus ujian seleksi dan harus menyiapkan dana. Untuk lima orang harus menyerahkan uang dengan total Rp 750 juta dari tanggal 19 Maret-24 Mei 2013.

''Awalnya ibu menyerahkan uang langsung ke Winarno sebesar Rp 410 juta, selanjutnya mengirim uang ke rekening atas nama Hartawan Wibisono sebesar Rp 340 juta. Sedangkan laporan dari korban lain mengirimkan uang ke rekening atas Winarno, Ujang Hidayat dan Hartawan Wibisono,''jelas Putri.

Mereka awalnya percaya karena diberikan seragam untuk pelaksanaan diklat. Bahkan mereka dijanjikan akan dujemput untuk berangkat diklat tanggal 28 Mei 2013 pukul 17.00 WIB dengan kendaraan dari Kementerian Keuangan.

Ternyata penjemput tidak kunjung datang. Putri menunggu hingga pukul 21.00 WIB, kendaraan dinas itu tidak kunjung datang, bahkan, empat perantara untuk penerimaan pegawai perpajakan tak bisa dikontak. Menurutnya, hanya Winarno yang bisa dihubungi dan jawabannya tidak meyakinkan.

''Setelah itu kami berkomunikasi dengan korban yang lain ternyata ada yang berasal dari Semarang, Demak, Kudus, Jogja, Wonogiri, Magelng, Boyolali dan bahkan ada dari Medan, Sulawesi. Diperkirakan ada 400 orang yang menjadi korban, minimal kerugian ditaksir Rp 1,5 triliun , setiap korban membayar sekitar Rp 80 juta - Rp 360 juta,''ungkap Putri.

Sebetulnya kasus tersebut sudah dilaporkan ke Polres Boyolali akhir Juli 2013 tetapi pelaku hanya ditahan satu hari dengan alasan bukti tidak lengkap, kata Putri yang lulusan Fakultas Hukum Universitas Negeri Surakarta ini. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement