Kamis 19 Sep 2013 14:31 WIB

Jimly Telah Memperkenalkan Peradilan Etik ke Presiden

Rep: Rusdy Nurdiansyah/ Red: Djibril Muhammad
Jimly Asshiddiqie
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Jimly Asshiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jimly Asshiddiqie mengatakan telah memperkenalkan sistem peradilan etika penyelenggara negara kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Peradilan etika tujuannya untuk mengontrol prilaku pejabat publik baik yang ada di pusat hingga ke daerah. "Kita memerlukan UU Etika Penyelenggara Negara. Presiden sangat menyambut baik ide ini. Presiden bila berbicara soal etika selalu concern," kata Jimly di kantor DKPP Jakarta, Kamis (19/9).

Diungkapkan Jimly, Presiden SBY menyambut baik usulan tersebut dan diminta untuk berkoordinasi dengan para menteri seperti Menteri Hukum dan HAM, Menteri Reformasi Birokrasi dan Pemberdayaan Aparatur Negara dan menteri-menteri terkait.

Undang-undang Etika Penyelenggara ini, Jimly menjelaskan, bukan berarti etika pegawai negeri sipil (PNS). Tapi undang-undang ini mencakup semua etika pemerintahan dan pejabat penyelenggara negara meliputi eksekutif, legislatif hingga yudikatif baik yang ada di pusat hingga di daerah.

Peradilan etik ini perlu diperkenalkan dengan insfrastruktur etika. Insfrastruktur etika ini komplementer terhadap infrastruktur hukum. "Jadi peradilan etik ini sebagai mekanisme kontrol prilaku pejabat publik kita," jelas guru besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI).

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menerangkan, sistem hukum yang ada jalan terus, tetapi mekanisme etika perlu diperkenalkan (diinstalled).

Tujuannya, setiap pejabat publik yang menyimpang baik yang ada di pusat hingga daerah bisa langsung diproses dengan cepat dan tidak ribet serta bertingkat-tingkat seperti pada peradilan hukum yang ada.

"Peradilan ini lebih sederhana. Sehingga peradilan etik ini bisa membebaskan atau menyelamatkan institusi kita dari pejabat yang melanggar etika atau melanggar hukum," kata Jimly menerangkan.

Cara kerjanya, ia menambahkan, proses peradilannya sama dengan peradilan hukum, yaitu dilakukan secara terbuka.

"Bedanya dengan peradilan hukum yaitu, sistem peradilan hukum itu prosesnya lebih ribet dan lama. Sistem hukum itu kalau nggak hukuman mati atau hukuman penjara. Nah, sekarang penjara sudah penuh semua," ujarnya.

"Nah, kalau berbicara jabatan publik yang menyimpang etika, penjara tidak penting. Yang penting pecat. Selamatkan nama baik lembaga negara itu," Jimly menegaskan.

Jimly mengugkapkan, konsep pengadilan etika ini tidak akan tumpang tindih dengan badan-badan etika  yang ada.

"Justru pengadilan etika ini perlu mengintegrasikan, membina atau mendorong, di dalam insttisusi publik dan profesi publik yang menyangkut kepentingan publik. Sistem kode etik dan penegak kode etik. Kode etik ini tidak perlu seragam. Disesuaikan dengan kebutuhannya masing-masing," bebernya lagi.

Harapan Jimly, sudah saatnya membuka tradisi baru. Dengan peradilan etik ini, bisa menjadikan Indonesia sebagai negara pertama di dunia yang membangun sistem peradilan etik yang diselenggarakan secara terbuka.

"Kita memiliki TAP MPR No 6 tahun 2001 tentang Etika Berbangsa, nah ini sedang kita terapkan secara lebih konkrit dalam sistem bernegara," kata Jimly menegaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement