Kamis 19 Sep 2013 09:10 WIB

Kemalasan Menyikapi Ketaksepakatan

Fitriyan Zamzami
Foto: one
Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Fitriyan Zamzami

[email protected]

Bicara soal konflik internal partai adalah juga berbicara soal sejarah Indonesia. Kalau ingat pelajaran sekolah menengah dulu, bahkan sebelum negeri ini merdeka perpecahan organisasi politik sudah jadi berita.

Bagi yang lupa, izinkan saya mengingatkan. Sejak awal abad 20, di Indonesia pernah berdiri organisasi politik akbar yang kemudian diberi nama Sarekat Islam. Pada 1921, pengaruh komunis masuk dan organisasi politik itu pecah. Yang tetap berpegangan dengan prinsip-prinsip awal partai menamakan diri SI Putih, dan seberangnya memilih dipanggil SI Merah.

Sekira tahun 1929, SI Putih yang telah berubah menjadi Partai Sarekat Islam meresmikan diri menjadi partai politik dan berubah nama lagi menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia. Itu partai politik akhirnya pecah lagi menjadi beberapa bagian.

Sebelumnya, pada 1927, telah dibentuk lebih dahulu Perserikatan Nasional Indonesia yang kemudian berubah lagi menjadi Partai Nasional Indonesia pada 1928. Partai politik tertua di Indonesia yang didirikan Bung Karno dan kawan-kawannya itu sejatinya sudah sangat diperhitungkan, tapi ia juga tak selamat dari perpecahan.

PNI pecah menjadi dua partai yang berbeda pada 1931. Pengganti Sukarno sebagai ketua PNI, Sartono, membentuk Partindo. Sementara Mohammad Hatta, yang tak setuju dengan arah Partindo, membentuk PNI Baru.

Menyusul aneka perpecahan di berbagai parpol, tak mengherankan saat Pemilu 1955 digelar anggotanya seabrek. Sebagian adalah bentukan dari pecahan partai-partai terdahulu. Saat Orde Baru berkuasa, sebaliknya yang terjadi. Aneka partai melebur menjadi dua partai politik dan satu golongan karya. Partai-partai dengan asas Islam digabung dalam Partai Persatuan Pembangunan, sementara yang diseberangnya dilebur dalam Partai Demokrasi Indonesia.

Bagaimanapun, perpolitikan Indonesia seperti tak bisa lari dari sejarahnya sendiri. Didukung fakta bahwa peleburan dilakukan dengan setengah paksaan, begitu Orde Baru tumbang yang terjadi serupa ledakan besar. Sedikit saja ketaksepakatan membuat anggota partai tertentu beserta loyalisnya membentuk partai baru. Alhasil, peserta Pemilu 1999 juga membeludak. Tak heran juga, banyak dengan warna dan simbol yang mirip.

Belakangan, perpecahan atau setidaknya keretakan tercium di Partai Golkar dan Demokrat. Faksi-faksi di dua partai itu saling ke muka mencari panggung. Bagaimana hasil dari keretakan itu masih menjadi tanda tanya. Tapi, kita bisa belajar dari perpecahan-perpecahan sebelumnya.

Pada akhirnya, politikus-politikus kita terkesan sebagai orang-orang yang tak pandai mengolah ketidaksepakatan. Dialog dipandang sebagai perhelatan yang jauh lebih sukar dilakukan tinimbang melarikan diri dari diskusi dan mengumpulkan yang sepaham saja. Seperti lupa bahwa pada substansinya, politik adalah kompromi.

Entah para politikus kita sadar atau tidak, kecenderungan perpecahan di parpol Indonesia menegaskan kesan bahwa memang bukan kesamaan ideologi yang membuat mereka bernaung, atau pernah bernaung, pada rumah yang sama. Alih-alih, mereka bergabung karena merasa wadah bersangkutan bisa digunakan mengegolkan kepentingan pribadi atau kelompok.

Mengharapkan kader-kader dan petinggi-petinggi partai politik selalu seiya sekata tentu bukan hal yang masuk akal. Tapi, balik kanan dan memicu keretakan setiap ada ketidaksepahaman juga semestinya bukan solusi. Terlebih bila ketaksepahaman tersebut bukan hal-hal yang substantif, misalnya dukungan pada petinggi atau mantan petinggi parpol tertentu.

Katakanlah, urusan internal parpol adalah dapur mereka sendiri. Meski demikian, perilaku para politikus dicermati rakyat. Dan, di sini yang menakutkan. Bagaimana jika kemalasan menyikapi ketaksepakatan para politikus menular ke masyarakat?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement