REPUBLIKA.CO.ID, SUKABUMI -- Perajin tahu dan tempe di Sukabumi, Jawa Barat menggelar aksi solidaritas dengan cara mogok produksi untuk mengimbau kepada pemerintah agar bisa segera menstabilkan kembali harga kedelai impor.
"Aksi mogok produksi yang kami lakukan ini hanya selama satu hari saja, karena hanya sebagai bentuk solidaritas atas melambungnya harga kedelai impor yang berdampak besar kepada penghasilan para pengrajin tahu dan tempe," kata Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Pengrajin Tahu dan Tempe Sukabumi, Dadang Jamaludin kepada pers, Senin (9/9).
Menurut Dadang, untuk aksi ini seluruh pengrajin tahu dan tempe di Sukabumi sepakat hanya satu hari saja mogok produksi dan tidak melakukan mogok produksi selama tiga hari sesuai dengan imbauan dari Gabungan Kelompok Pengrajin Tahu Tempe Indonesia atau Gapoktindo sebagai.
Pengrajin tahu tempe di Sukabumi memilih hanya satu hari mogok produksi karena walau bagaimanapun juga jika tidak berproduksi para pengrajin akan merugi dan akan berpengaruh terhadap penghasilan, apalagi para pekerja yang membutuhkan uang setiap hari untuk biaya hidup keluarganya.
Lebih lanjut, namun aksi solidaritas ini sifatnya tidak wajib karena dari pantauan pihaknya masih ada beberapa pengrajin tahu dan tempe khususnya skala menengah ke bawah yang tetap melakukan produksi tapi jumlahnya hanya sedikit dan produksinya pun tidak besar.
"Bagaimanapun juga tahu tempe ini makanan rakyat yang memiliki nilai protein tinggi dan harganya juga terjangkau, jika kami tidak berproduksi dengan waktu yang lama kasihan juga masyarakat yang ekonominya lemah tidak bisa membeli makanan yang sehat dan murah seperti ini," katanya menambahkan.
Dadang berharap dengan adanya aksi ini yang dilakukan secara nasional oleh para pengrajin tahu tempe, pemerintah bisa mencarikan solusi yang terbaik agar harga bahan baku makanan rakyat ini bisa bisa kembali stabil dan jangan mau dimonopoli negara asing khususnya Amerika Serikat.
Solusi yang bisa dilakukan oleh pemerintah salah satunya mencari negara lain yang juga sebagai produsen kedelai dengan kualitas terbaik tetapi harganya lebih rendah, atau bisa mengembangkan produksi kedelai di Indonesia.
"Kasus seperti ini sudah klasik dan hampir setiap tahunnya selalu terjadi seperti ada politisisasi harga kedelai, apalagi saat ini mendekati Pemilu," kata Dadang.