Selasa 03 Sep 2013 21:09 WIB

Menhut: Menanam Pohon Bagian Gaya Hidup Anak Muda

Rep: Heri Purwata/ Red: Yudha Manggala P Putra
Mentri Kehutanan Zulkifli Hasan menyapa para warga sebelum melakukan pembukaan Festival Sarongge, Cipanas,Jawa Barat,Sabtu (29/6). Festival sarongge yang di gelar 29 Juni-1 Juli 2013 tersebut menampilkan aneka seni dan geliat ekonomi masyarakat desa Sarong
Foto: Republika/Prayogi
Mentri Kehutanan Zulkifli Hasan menyapa para warga sebelum melakukan pembukaan Festival Sarongge, Cipanas,Jawa Barat,Sabtu (29/6). Festival sarongge yang di gelar 29 Juni-1 Juli 2013 tersebut menampilkan aneka seni dan geliat ekonomi masyarakat desa Sarong

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan mengatakan gerakan menanam pohon sudah menjadi bagian gaya hidup bagi kaum muda. Hal ini ditandai dengan gerakan menanam pohon bagi mahasiswa baru Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Selasa (3/9/2013).

"Saya senang sekali dengan kepeloporan UII untuk menanam pohon bagi mahasiswa barunya. Saya yakin, gerakan penghijauan akan menjadi budaya atau life style bangsa Indonesia," kata Zulkifli Hasan seusai menyaksikan penanaman pohon oleh mahasiswa baru UII di Kampus Jalan Kaliurang km 14,5 Yogyakarta, Selasa (3/9).

Adanya gerakan mahasiswa menanam pohon, kata Zulkifli, diprediksikan dalam waktu 30 tahun mendatang, Indonesia akan hijau kembali. Karena itu, Zulkifli mendorong kampus-kampus yang ada di Indonesia melakukan gerakan menanam pohon. "Saat ini hanya 60 persen wilayah Indonesia yang masih hijau, sedang 40 persen dalam kondisi kritis," kata Zulkifli.

Dijelaskan Zulkifli, setiap orang membutuhkan air dan oksigen setiap harinya dari 10 pohon. Karena itu, setiap mahasiswa diharap setelah menanam secara simbolis menanam 10 pohon di pekarangan masing-masing. Sehingga kondisi alam Indonesia tidak mengalami defisit air dan oksigen.

"Syukur kalau mau menanam 20 pohon, yang 10 pohon untuk diri sendiri, sedang 10 pohon lainnya untuk sodakoh," katanya.

Selama ini, kata Zulkifli, masyarakat menggunakan pandangan antroposentris dalam mengelola lingkungan.  Pandangan ini menganggap manusia sebagai pemeran utama di muka bumi kemudian mengeksploitasi lingkungan. Sehingga eksploitasinya melebihi daya dukung lingkungan dan pada gilirannya merusak ekosistem.

Ekosistem yang rusak diidentifikasi dengan meningkatnya bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor  di musim hujan dan kebakaran hutan di musim kemarau. "Akibatnya APBN lebih banyak digunakan untuk mengatasi bencana, bukan untuk pembangunan," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement