Sabtu 17 Aug 2013 18:39 WIB

Pidato Kemerdekaan SBY Dianggap Penuh Pencitraan

Rep: Ira Sasmita/ Red: Mansyur Faqih
 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Foto: Antara/Andika Wahyu
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menyambut HUT ke-68 RI dinilai masih normatif. Pidato tersebut dipandang masih penuh dengan pencitraan dan terjebak pada rutinitas yang dimaknai sebagai sesuatu yang normatif.

Pengamat politik Universitas Gajah Mada, Arie Sudjito mengatakan, pidato kenegaraan yang disampaikan SBY memang selalu cenderung normatif. Padahal, momentum peringatan kemerdekaan RI harusnya disampaikan pidato yang lebih bermakna.

"Harusnya pidato kenegaraan itu bisa memberikan sinyal optimisme tentang bagaimana membangun bangsa ke depan. Harus punya makna, beberkan fakta, tak semata-mata pencitraan pamer prestasi," kata Arie saat dihubungi, Sabtu (17/8).

SBY, lanjut Arie, harusnya berani memaparkan dalam pidato kenegaraannya persoalan dan harapan yang diinginkan rakyat saat ini. Karena di tengah era keterbukaan seperti sekarang, publik sudah terlanjur tahu persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa.

"Apakah kita sudah benar-benar merdeka atau belum? Kalau memang belum, ya akui," ungkapnya.

Pidato kenegaraan tersebut, lanjutnya, juga harus dimaknai SBY sebagai peringatan bagi seluruh pemimpin di daerah. Apakah hingga saat ini pemerintah sudah mampu memenuhi tuntutan dan hak rakyat.

Arie menambahkan, pidato kenegaraan yang kurang makna dan cenderung normatif tifak hanya terlihat pada pidato kenegaraan SBY. Tetapi, itu menjadi persoalan yang dihadapi banyak elite di Indonesia. Mereka kesulitan menyampaikan sesuatu lantaran tidak mampu melakukan apa yang diharapkan oleh rakyat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement