REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menyambut HUT ke-68 RI dinilai masih normatif. Pidato tersebut dipandang masih penuh dengan pencitraan dan terjebak pada rutinitas yang dimaknai sebagai sesuatu yang normatif.
Pengamat politik Universitas Gajah Mada, Arie Sudjito mengatakan, pidato kenegaraan yang disampaikan SBY memang selalu cenderung normatif. Padahal, momentum peringatan kemerdekaan RI harusnya disampaikan pidato yang lebih bermakna.
"Harusnya pidato kenegaraan itu bisa memberikan sinyal optimisme tentang bagaimana membangun bangsa ke depan. Harus punya makna, beberkan fakta, tak semata-mata pencitraan pamer prestasi," kata Arie saat dihubungi, Sabtu (17/8).
SBY, lanjut Arie, harusnya berani memaparkan dalam pidato kenegaraannya persoalan dan harapan yang diinginkan rakyat saat ini. Karena di tengah era keterbukaan seperti sekarang, publik sudah terlanjur tahu persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa.
"Apakah kita sudah benar-benar merdeka atau belum? Kalau memang belum, ya akui," ungkapnya.
Pidato kenegaraan tersebut, lanjutnya, juga harus dimaknai SBY sebagai peringatan bagi seluruh pemimpin di daerah. Apakah hingga saat ini pemerintah sudah mampu memenuhi tuntutan dan hak rakyat.
Arie menambahkan, pidato kenegaraan yang kurang makna dan cenderung normatif tifak hanya terlihat pada pidato kenegaraan SBY. Tetapi, itu menjadi persoalan yang dihadapi banyak elite di Indonesia. Mereka kesulitan menyampaikan sesuatu lantaran tidak mampu melakukan apa yang diharapkan oleh rakyat.