Rabu 17 Jul 2013 20:12 WIB

Ikapi Nilai Buku Pelajaran Berbau Porno Merebak Terkait Proyek

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Djibril Muhammad
IKAPI
Foto: islamic-bookfair,com
IKAPI

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Fenomena tersebarnya buku pelajaran berbau porno yang terjadi akhir-akhir ini, dinilai Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jabar terkait proyek.

Menurut Ketua Ikapi Jabar, Anwaruddin, buku pelajaran berbau porno tersebar bukan hanya berkaitan dengan kualitas saja. Namun, terkait proyek untuk mengejar pesanan buku.

"Ini sebenarnya, persoalannya duit bukan kualitas. Kan itu, proyek jadi yang penting duit nggak peduli kualitas bukunya," ujar Anwaruddin usai Bertemu dengan Wakil Gubernur Jabar, Deddy Mizwar, di Bandung, Rabu (17/7).

Menurut Anwaruddin, saat ada yang memesan satu buku, pihak yang menerima pesanan sulit mencarinya kemana. Maka, diberikan saja buku yang ada. Kalau dianalogikan, seperti membeli baju kalau ada yang sobek seharusnya batal tidak jadi dibeli. Tapi, karena terkait proyek, ini malah dipaksakan.

Setelah kejadian tersebut, kata dia, bisa saja penerbit yang mencetak buku di black list. Asal, jangan sepihak. Orang yang memesan buku tersebut, harus di black list juga. "Yang pesennya juga dong di black list. Nggak adil itu. Kenapa membeli dipaksakan jadi tadak terpakai," katanya.

Anwaruddin mengatakan, Ikapi sudah berkali-kali memperingatkan penerbit yang membuat buku pelajaran berbau porno. Sebab, kasus tersebut bukan hanya terjadi satu kali. Di beberapa kabupaten/ kota di Jabar, pernah ditemukan.

Misalnya, di Kabupaten Bandung dan Kota Bandung pernah ada juga. "Kalau ada temuan, saya panggil penerbitnya, terus katanya sudah ditarik dari peredaran. Itu bahaya," kata Anwaruddin.

Dikatakan Anwaruddin, khusus untuk buku pelajaran berbau porno yang ditemukan di Bogor, Ia pun telah menegur pada penerbitnya. Sebab, buku tersebut sangat tidak layak dibaca oleh anak kelas 6 SD. "Saya sudah baca sendiri, itu tidak layak untuk kelas 6 SD. Layaknya, 17 tahun ke atas," katanya.

Menurut Anwaruddin, buku pelajaran berbau porno tersebut bisa lolos di sekolah karena loss control dari gurunya. Seharusnya, guru membaca dulu buku tersebut. Kalau tidak layak, tidak diberikan ke siswa. "Kalau guru sudah baca itu, kemudian pesen untuk diberikan ke kelas 6 SD, bukan guru itu," kata Anwaruddin.

Selain itu, kata dia, seharusnya editor yang mengedit buku bisa menilai layak atau tidaknya buku tersebut untuk kelas 6. Makanya, Ikapi sering mengadakan pembinaan pada penulis buku dan editor.

Sementara menurut Wakil Gubernur Jabar, Deddy Mizwar, orang tua harus hati-hati menerima buku pelajaran untuk anaknya. Mereka, harus ikut membaca dan mengawasi buku tersebut layak atau tidak. "Seharusnya memang sebelum diserahkan ke siswa guru menyortir buku pelajaran dengan membaca dulu," katanya.

Berbeda dengan Anwaruddin, Deddy menilai fenomena buku pelajaran berbau porno ini merebak karena sekarang buku pelajaran banyak pilihan. Bahkan, setiap tahun terus mengalami perubahan. Hal tersebut, tidak menjadi masalah asal semua buku baru dibaca dulu oleh yang memberikan materi.

"Bagaimana memberikan buku tanpa membaca dulu buku itu. Bagus, masyarakat ada yang baca," katanya.

Kemungkinan besar, kata dia, guru tersebut pusing dengan kurikulum baru. Jadi, bebannya berat dan kecolongan dengan buku seperti itu. Deddy berharap, hal seperti ini tidak terjadi lagi di masyarakat. "Kalau pun sampai terjadi lagi, yang penting cepat diatasi," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement