Selasa 09 Jul 2013 19:57 WIB

Ambang Batas Suara, Titik Buntu RUU Pilpres

Rep: Ira Sasmita/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sidang DPR (Ilustrasi)
Foto: Antara
Sidang DPR (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pembahasan RUU pilpres  dinilai tidak perlu dilanjutkan. Menurut Anggota Baleg dari Fraksi Golkar, Nurul Arifin, UU Pilpres saat ini sudah cukup kompatibel dengan sistem presidensial yang dianut di Indonesia.

Pandangan dari Fraksi PDI Perjuangan yang disampaikan Arif Wibowo juga serupa. Arif menyatakan bila pembahasan RUU Pilpres hanya berputar pada besar ambang batas presidential, akan bersifat kontraproduktif, tidak jomprehensif.

Karenanya PDI-P meminta pembahasan RUU Pilpres tidak hanya dihentikan, melainkan dicabut dari prolegnas. "Maka tidak ada lagi polemik dan perdebatan, dan isu yang bisa menimbulkan kebisingan politik. Apakah syarat masih bisa berubah atau tidak sehingga seluruh fraksi bisa mempersipakan pileg dengan lebih baik," paparnya, di Jakarta, Selasa (9/7).

Aspek teknis selain presidential treshold yang sempat dibahas di Baleg, menurut dia masih bisa diatur oleh Komisi Pemilihan Umum. Ia memberi contoh pembentukan koalisi enam bulan sebelum pemungutan suara dan dengan membangun transparansi dan akuntabilitas kepada publik.

Sementara Fraksi Partai Hanura yang diwakili Jamal Azis berkeras angka PT harus tetap diturunkan. "Wong amanat UUD nggak ada angka. Berikan kesempatan partai yang sudah lolos untuk mencalonkan putra terbaiknya," ucapnya.

Anggota Baleg dari Fraksi Partai Gerindra, Martin Hutabarat mengatakan tren di tengah masyarakat saat ini menginginkan capres lebih dari dua atau tiga pasangan. Ia membantah bila sikap Gerindra untuk mengamankan pencapresan Prabowo Subianto.

"Partai mana yg bisa maju sendiri kalau 20 persen?. Gerindra akan tetap percaya diri mengusung Prabowo dengan PT berapapun, terlepas ada kebutuhan masyarakat akan lebih banyak capres alternatif," kata Martin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement