Senin 08 Jul 2013 23:26 WIB

Dikotomi Capres Jawa dan Non-Jawa Dinilai tak Relevan

Sejumlah Ketua umum Partai berfoto bersama dengan membawa no urut usai Pengundian nomor urut parpol peserta Pemilu 2014 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (14/1).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Sejumlah Ketua umum Partai berfoto bersama dengan membawa no urut usai Pengundian nomor urut parpol peserta Pemilu 2014 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (14/1).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA--Dikotomi calon presiden dari Jawa dan non-Jawa dipandang tidak lagi relevan untuk menentukan kemenangan pada Pemilihan Umum 2014. Penilaian itu disampaikan pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Ari Dwipayana.

"Kalau dulu capres (calon presiden) dari luar Jawa selalu diprediksikan memiliki peluang kecil untuk menang, saat ini sudah tidak lagi," kata Ari di Yogyakarta, Senin (8/7). Alasannya sebagian besar masyarakat saat ini telah lebih banyak melihat bukti nyata dari pada sekadar asal-usul capres.

Saat ini, kata dia, masyarakat sudah melihat faktor lain yakni kredibilitas serta kapabilitas capres sesuai rekam jejak yang dimiliki. Dalam hal itu, menurut dia, faktor kejujuran serta keberpihakan terhadap rakyat menjadi faktor penting.

"Meskipun berdasar pada survei terakhir capres berasal dari Jawa masih lebih banyak, seperti Jokowi dan Prabowo, namun hal itu lebih didasarkan pada sisi kredibilitas calon," katanya.

Untuk membangun demokrasi yang sehat, dikotomi capres Jawa dan non-Jawa, menurut dia, sudah selayaknya dihilangkan. Selain tidak terkait dengan pembangunan dan kesejahteraan bangsa, dikotomi itu justru dapat berpotensi memicu disintegrasi.

"Walaupun pemilih dari Pulau Jawa bisa dikatakan lebih banyak dibanding daerah lainnya, namun sebaiknya orientasi memilih tetap harus didasarkan pada sisi objektivitas yang melekat pada capres," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement