Senin 01 Jul 2013 22:31 WIB

Luthfi Tolak Surat Dakwaan

Rep: Irfan Fitrat/ Red: Mansyur Faqih
 Tersangka korupsi dan pencucian uang Luthfi Hasan Ishaaq menjalani sidang pembacaan eksepsi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (1/7).      (Republika/Adhi Wicaksono)
Tersangka korupsi dan pencucian uang Luthfi Hasan Ishaaq menjalani sidang pembacaan eksepsi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (1/7). (Republika/Adhi Wicaksono)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa kasus dugaan korupsi pengurusan kuota impor daging sapi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU), Luthfi Hasan Ishaaq mengajukan nota keberatan atas surat dakwaan jaksa penuntut umum. Dalam eksepsinya, penasihat hukum menyatakan surat dakwaan tidak dapat diterima. "Menyatakan surat dakwaan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima," kata salah satu penasihat hukum Luthfi, Mohammad Assegaf, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (1/7). 

Penasihat hukum menilai, surat dakwaan penuntut umum dibuat tidak jelas, tidak cermat, dan tidak lengkap. Sehingga menilai dakwaan terhadap Luthfi harus batal demi hukum. Dalam dugaan tindak pidana korupsi, Luthfi dijerat dengan pasal 12 huruf a, pasal 5 ayat 2 dan ayat 1, dan pasal 11 UU Tipikor. 

Penasihat hukum menilai unsur utama dalam pasal tersebut adalah penyelenggara negara atau pegawai negeri. Luthfi memang sebagai penyelenggara negara karena merupakan anggota DPR periode 2009-2014. "Tetapi tidak hubungannya dengan dakwaan penuntut umum karena tugas DPR merupakan legislasi, anggaran, dan pengawasan."

Penasihat hukum menilai Luthfi tidak berhubungan dengan kebijakan dalam memberikan rekomendasi mengenai peningkatan kuota impor daging, apalagi memutuskan. Sehingga penasihat hukum menilai ketiga pasal yang didakwakan tidak relevan karena peran Luthfi dianggap sebagai legislator.

Dalam eksepsinya, penasihat hukum juga menyebutkan adanya ketidakcermatan dalam penyusunan surat dakwaan. Dalam keterangan identitas, Luthfi ditulis sebagai anggota DPR periode 2009-2014, sehingga penasihat hukum menilai surat dakwaan kliennya terkait dengan jabatan saat masa itu. 

Namun, dalam dakwaan kedua dan ketiga, penuntut umum juga menduga adanya tindak pidana saat Luthfi menjadi anggota DPR peridoe 2004-2009. Dengan itu, penasihat hukum menilai adanya ketidakcermatan jaksa. Penasihat hukum Luthfi juga menyorot uraian pasal  12 huruf a UU Tipikor. Salah satu unsurnya menyebutkan terdakwa dengan jabatannya selaku anggota DPR dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memengaruhi pejabat di Kementan. 

Penasihat hukum menilai, jaksa sudah tidak cermat dengan memasukkan presiden partai dalam kategori pegawai negeri atau penyelenggara negara. "Pemimpin partai politik atau presiden partai tidak pernah dinyatakan sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara."

Mengenai persoalan memengaruhi pejabat di Kementan, penasihat hukum juga menilai jaksa tidak jelas menentukan posisi Luthfi. Dalam penggunaan pasal 55 ayat 1 ke-1 mengenai penyertaan, disebut ada orang yang melakukan (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doenplegen), dan orang yang turut melakukan (medepleger). Namun penasihat hukum menilai dalam surat dakwaan tidak jelas di mana peran Luthfi dan hanya menceritakan mengenai kronologis kejadian.

Pengenaan pasal TPPU juga tidak luput dari penasihat hukum Luthfi. Dalam dakwaan kedua dan ketiga, jaksa menggunakan pasal dalam UU Nomor 15/2002 yang diubah UU 25/2003 tentang TPPU. Menurut penasihat hukum, pada undang-undang itu tidak menyebutkan kewenangan penyidik KPK.  

Kewenangan penyidik KPK itu, menurut penasihat hukum, baru ada pada UU Nomor 8/2010. Sementara mengenai dakwaan keempat dan kelima yang berdasar pada UU Nomor 8/2010, penasihat hukum menilai jaksa tidak cermat karena dalam rumusan dakwaan tidak disebutkan dan atau menghubungkannya dengan tindak pidana asal (predicate crime).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement