Senin 01 Jul 2013 19:18 WIB

Penasihat Hukum Luthfi Sentil KPK

Rep: Irfan Fitrat/ Red: Heri Ruslan
 Tersangka korupsi dan pencucian uang Luthfi Hasan Ishaaq menjalani sidang pembacaan eksepsi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (1/7).      (Republika/Adhi Wicaksono)
Tersangka korupsi dan pencucian uang Luthfi Hasan Ishaaq menjalani sidang pembacaan eksepsi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (1/7). (Republika/Adhi Wicaksono)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA--Penasihat hukum Luthfi Hasan Ishaaq mengkritik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kritikan itu disampaikan ketika penasihat hukum Luthfi membacakan nota keberatan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (1/7).

Salah satu penasihat hukum Luthfi, Mohammad Assegaf, menyorot proses penangkapan kliennya oleh petugas KPK pada 30 Januari 2013 di DPP PKS. Saat itu, ia mengatakan, Luthfi dan pengurus DPP PKS meminta Zainuddin Paru untuk mendampingi ke kantor KPK. Namun, menurut dia, petugas KPK melarang Zainuddin karena belum adanya surat kuasa dari Luthfi.

"Padahal kuasa tersebut sudah diberikan secara lisan di hadapan petugas," kata dia.

Assegaf menilai tindakan petugas KPK itu sebagai bentuk arogansi. Ia juga menilai kurangnya pembekalan pemahaman hukum pada petugas. Padahal, menurut dia, KUHAP sudah memberikan hak kepada penasihat hukum untuk mendampingi kliennya sejak proses penangkapan. Assegaf menilai KPK sudah melanggar ketentuan hukum acara pidana.

Masalah penangkapan dan penahanan Luthfi pun dipersoalkan. Zainuddin menilai KPK mengklaim melakukan penangkapan dan penahanan karena sudah mempunyai dua alat bukti. Ia mengira bukti itu adalah berupa saksi dan hasil sadapan (rekaman).

Namun, menurut dia, keterangan saksi itu masih harus diuji untuk menjadi alat bukti saksi atau hanya menjadi bukti petunjuk. Sementara hasil sadapan, ia menilai, hanya mungkin menjadi bukti petunjuk.

"Dengan demikian, sebetulnya KPK hanya memeroleh satu alat bukti saja ketika melakukan penangkapan dan penahanan," kata dia.

Zainuddin juga menyebut adanya motif lain di luar hukum dalam penanganan kasus Luthfi. Ia menilai adanya upaya untuk mendeskreditkan kliennya dan juga partai tempat Luthfi bernaung, Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Salah satu indikasinya, ia mengatakan, KPK terlihat terburu-buru dan terkesan ceroboh ketika menangkap dan menahan  Luthfi.

Saat itu, Luthfi  memimpin rapat pleno pengurus di kantor DPP PKS. Ia pun melihat adanya indikasi serupa dengan proses penyitaan mobil oleh petugas KPK di DPP PKS.

Selain itu, Zainuddin juga menyoroti mengenai adanya penilaian tebang pilih KPK dalam penanganan kasus. Ia mengatakan, KPK juga menangani kasus dugaan korupsi terhadap kader partai lain. Ia menyebut nama mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, dan mantan Menpora, Andi Mallarangeng, yang statusnya sudah menjadi tersangka, tetapi belum ditahan.

Berbeda dengan Luthfi yang langsung ditangkap dan ditahan. "Menjadi pertanyaan apakah ini bukan perlakuan diskriminatif yang dipertontonkan KPK," ujar dia.

Zainuddin juga menilai adanya festivalisasi dalam kasus pengurusan kuota impor daging sapi itu. Salah satunya dengan munculnya nama-nama wanita yang terkait dengan Ahmad Fathanah, yang disebut orang dekat Luthfi. Ia mengatakan, drama para wanita yang terkait Fathanah itu bisa menjadi pembunuhan karakter.

"Wanita yang mempunyai hubungan dengan Fathanah juga menjadi tumpang tindih dengan perkara Luthfi. Seolah itu merupakan bagian dari Luthfi," kata dia. 

Wakil Sekretaris Jenderal PKS, Fahri Hamzah, yang datang menyaksikan persidangaan juga turut berkomentar. Menurut dia, persoalan nama-nama wanita yang muncul membuat substansi hukum perkara itu hilang. Karena itu, ia berharap subtansi hukum akan kembali ditegakkan dengan membuat persidangan kasus kuota impor sapi ini seterbuka mungkin.

Keterbukaan ini, menurut dia,  sangat penting agar publik memahami hak-hak para terdakwa di luar hak KPK. "Orang itu harus diduga tidak bersalah sampai divonis mempunyai kekuatan hukum tetap di pengadilan," kata dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement