REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Iklan politik di Indonesia secara ide kreatif sampai eksekusi dinilai lebih jelek dibandingkan dengan iklan komersial.
Ironisnya biaya untuk iklan itu bukan sedikit melainkan luar biasa, kata dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fajar Junaedi.
"Komunikasi iklan politik melalui media televisi kian populer, tetapi kebanyakan iklan tersebut dalam tataran kreativitas hingga eksekusi masih jauh dari kata baik," katanya pada peluncuran buku karyanya berjudul 'Komunikasi Politik: Teori, Aplikasi, dan Strategi di Indonesia', di Yogyakarta, Rabu (19/6).
Oleh karena itu, menurut dia, para aktor politik dan industri komunikasi harus bisa mendesain pesan komunikasi politik yang lebih kreatif. Relasi media dan aktor politik di Indonesia saat ini, ujarnya, berada di wilayah abu-abu dibandingkan dengan masa Orde Lama pascarevolusi kemerdekaan.
"Pada masa itu media jelas memposisikan diri sebagai 'underbow' partai politik (parpol) tertentu, sehingga tajuk rencana media akan jelas memihak parpol induknya," katanya.
Ia mengatakan saat ini media memang tidak memposisikan diri sebagai "underbow" parpol atau politikus tertentu. Hanya saja sinya memihak ke parpol atau politikus tertentu. Jadi, tidak ada garis demarkasi yang jelas.
Selain itu, aturan di Indonesia memungkinkan celah terjadinya monopolisasi media oleh aktor politik tertentu. Kondisi itu berbeda dengan Amerika Serikat (AS), yang melarang kepemilikan 'melintas'.