REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Herland bin Ompo dan Ricksy Permaturi resmi menjadi terpidana kasus dugaan korupsi proyek proyek "bioremediasi" PT Chevron Pasific Indonesia. Status itu mau tak mau membuat keluarga dan pendidikan anak-anak mereka terganggu.
Sebagai solidaritas, para karyawan dan pihak rekanan Chevron memberikan beasiswa kepada anak-anak kedua terpidana tadi.
"Jumlah beasiswa dari hasil pengumpulan dana atas aksi solidaritas ini beragam. Mulai dari Rp600 ribu untuk yang masih duduk di sekolah dasar, dan Rp700 ribu untuk yang telah SMP, serta Rp800 ribu bagi yang SMA," kata Staf Humas CPI, Pradonggo di Jakarta, Senin (17/6).
Penyerahan beasiswa itu secara simbolis dilakukan gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kuningan, Jakarta Selatan, Senin sore.
Sementara untuk anak-anak yang telah berada di bangku kuliah diberikan santunan beasiswa Rp1 juta per bulan, dengan mekanisme penyaluran lewat perbankan (tranfer lewat rekening).
"Beasiswa hasil solidaritas ini akan terus dilakukan setiap bulan selama orangtua mereka, yakni Herland dan Ricksy ditahan setelah divonis bersalah oleh majelis hakim," katanya.
Herland bin Ompo, Direktur PT Sumigita Jaya yang merupakan rekanan pengerja proyek 'bioremediasi' Chevron sebelumnya divonis bersalah hingga dijatuhi hukuman selama enam tahun penjara, serta denda Rp250 juta dengan subsider tiga bulan kurungan.
Perusahaannya juga diwajibkan membayar uang pengganti senilai 6,9 dolar AS atau setara dengan Rp67,137 miliar.
Sementara Ricksy Prematuri yang merupakan Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI), juga rekanan Chevron dalam proyek pemulihan lahan tercemar limbah minyak dengan penyebaran bakteri (bioremediasi), divonis lima tahun penjara dan denda sebesar Rp200 juta dengan subsider dua bulan kurungan.
Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Selatan pada awal Mei 2013 itu, majelis hakim yang diketuai oleh Sudharmawatiningsi memutuskan terdakwa bersalah telah melanggar aturan karena belum memiliki izin pengelolaan limbah.
Pernyataan majelis hakim ini berlawanan dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Undang-undang tentang lingkungan hidup yang menyatakan izin pengelolaan limbah hanya cukup pada perusahaan pengelola migas, sementara rekanan kontraktor tidak perlu lagi memiliki izin tersebut.
"Atas ketidakpuasan kami terhadap penegakan hukum inilah, kami kemudian bersepakat untuk menggelar aksi-aksi silidaritas. Santunan beasiswa ini merupakan salah satunya saja dari berbagai kegiatan yang telah kami lakukan," kata Pradonggo.