REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sebanyak 10 dari 42 saksi kasus pembunuhan tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kelas II B, Cebongan, Sleman direkomendasikan tidak hadir secara langsung untuk memberikan kesaksian pada persidangan kasus itu di oditur militer Yogyakarta.
Rekomendasi tersebut disampaikan Ketua tim psikologi yang telah melakukan pemeriksaan dan pendampingan terhadap para saksi tersebut.
Menurut Ketua tim pemeriksaan saksi kasus Cebongan yang juga Ketua Assosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR), Yusti Probowati, 10 saksi yang direkomnedasikan tak hadir langsung tersebut terdiri atas delapan warga binaan (tahanan) dan dua petugas Lapas.
"Ada beberapa sebab mengapa mereka kita rekomendasikan tak hadir langsung meski bisa memberikan kesaksian langsung, yaitu trauma, kecemasan dan ketakutan yang tinggi. Mereka mengalami gangguan klinis," ujarnya pada pemaparan hasil pemeriksaan psikologi para saksi kasus Cebongan di Yogyakarta, Senin (17/6).
Kesepuluh saksi ini kata dia, bisa melakukan kesaksian langsung terkait kasus Cebongan melalui media video conference. Selain 10 saksi tadi, ada satu saksi lagi kata Yusti yang membutuhkan penanganan tersendiri saat memberikan kesaksian.
Satu saksi ini kata Yustim direkomendasikan tidak memberikan kesaksian secara langsung baik di muka persidangan maupun menggunakan peralatan lain.
Sebab, kata dia, dari hasil pemeriksaan psikologi, satu saksi ini sering memberikan keterangan bias. Oleh sebab itu, dia butuh pendampingan petugas saat bersaksi, itupun harus menggunakan metode tertentu tanpa memberikan kesaksian langsung.
"Jadi memakai video conference saja tidak bisa apalagi hadir langsung. Kesaksian bisa saja direkam itupun harus didampingi petugas," katanya.
Dijelaskan Yusti, pemeriksaan psikologi terhadap 42 saksi kasus Cebongan telah dilakukan sejak 29 Mei 2013 hingga 15 Juni 2013 lalu. Pemeriksaan tersebut merupakan tahap pertama dari tiga tahap pemeriksaan yang dilakukan tim psikolog.
Sebanyak 42 saki yang diperiksa ini terdiri atas 31 tahanan dan 11 petugas Lapas. "Kita mengunakan metode standard psikologi ditambah dengan wawancara serta test khusus karena kasus ini spesifik," ujarnya.
Dari hasil tes itu, kata dia, 34 saksi dinilai cukup kompeten memberikan kesaksian, tujuh saksi dinilai kurang kompeten dan satu saksi tidak kompeten. "Yang perlu dicatat dari 34 saksi yang cukup kompeten ini hanya 31 saksi yang siap hadir langsung memberikan kesaksian di persidangan," katanya menjelaskan.
Itu artinya, kata Yusti, jumlah 10 saksi yang direkomendasikan tidak hadir langsung di muka sidang bisa saja bertambah menjelang sidang digelar. "Karena rasa takut dan kecemasan bisa saja meningkat," katanya menambahkan.
Rekomendasi lain yang dihasilkan tim psikologi ini adalah, 42 saksi maish membutuhkan penguatan berupa pendampingan psikologis selama masa sidang. Namun dari jumlah itu 29 diantaranya tidak memerlukan intervensi psikologi dan 13 diantaranya memerlukan psikoterapi.