Kamis 13 Jun 2013 22:34 WIB

BBM Tak Naik, APBN Makin Tak Kredibel

 Sejumlah kendaraan antre mengisi bahan bakar jenis pertamax akibat habisnya BBM bersubsidi di salah satu SPBU di jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, Senin (26/11). (Republika/Agung Fatma Putra)
Sejumlah kendaraan antre mengisi bahan bakar jenis pertamax akibat habisnya BBM bersubsidi di salah satu SPBU di jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, Senin (26/11). (Republika/Agung Fatma Putra)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, A Tony Prasetiantono menilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saat ini sudah tidak kredibel lagi di mata investor lantaran porsi subsidi terlalu besar.

Solusi paling tepat untuk mengembalikan kepercayaan investor kepada pemerintah adalah menaikkan harga BBM. "Jika harga BBM tidak dinaikkan, APBN mengkhawatirkan, tidak kredibel dan tidak sustainable," ujarnya dalam siaran pers, Kamis (13/6).

Impor migas akan terus naik dan nanti bisa berujung pada terus melemahnya rupiah. Menurut dia, kenaikan suku bunga deposit facility atau Fasbi sebesar 25 basis poin dari 4 persen menjadi 4,25 persen, tidak akan berdampak ke rupiah tanpa ada perubahan postur anggaran di APBN.

"Saya yakin kebijakan menaikkan Fasbi 25 basis poin kurang memberi dampak ke rupiah," katanya menegaskan.

Kini, menurut dia, yang dibutuhkan adalah menaikkan BI rate. "Saya rekomendasikan naik 25 basis poin dulu menjadi 6 persen," katanya menjelaskan.

Jika belum efektif, ia menganjurkan untuk dinaikkan lagi menjadi 6,25 persen. Dia menjelaskan, pasar sudah meminta kenaikan suku bunga simpanan di bank, karena ekspektasi inflasi sudah di atas 7 persen. Namun tak kunjung dilakukan.

Alhasil masyarakat menjadi malas menyimpan uangnya di bank karena akan menerima negative real interest rate (suku bunga deposito di bawah ekspektasi inflasi).

Akibatnya, para investor berburu dolar Amerika. Apalagi ada tanda-tanda perekonomian AS membaik, dan quantitative easing direm. "Pemerintah juga tidak segera memutuskan menaikkan harga BBM, sehingga pasar kesal, capek menunggu," ujarnya.

Akibatnya pasar menghukumnya dengan melepas rupiah ditukar dolar AS. "Ini harus segera disadari pemerintah," katanya menegaskan.

Ia tak memungkiri, ekonomi makro memburuk karena faktor subsidi BBM terlalu besar. Alhasil, kenaikan BBM menjadi pilihan pas karena memang sudah ditunggu pasar.

Adapun dampak jika BBM tidak segera naik, menurut Tony memang tidak akan seburuk tahun 1998. Namun, ia kembali menegaskan, postur anggaran di APBN sekarang ini di mata investor makin tidak kredibel. "Tidak akan seburuk tahun 1998 lalu," ujarnya. 

Waktu itu inflasi bisa mencapai 7 persen karena bank-bank menaikkan suku bunga deposito menjadi 60 persen, bahkan sempat mencapai hingga 70 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement