REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah pemberantasan teroris di Indonesia dinilai semakin tak karuan. Polisi dalam hal ini Detasement Khusus (Densus) 88 dinilai semakin membabi buta dan lebih memilih langkah ‘pelenyapan’ dibanding ‘penyembuhan’.
Peristiwa penembakan kepada terduga teroris yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng) pada Senin (10/6) cukup menjadi cerminan kebrutalan Densus 88. Akibat langkah represif yang diambil, penembakan yang dilakukan Densus 88 malah memicu kemarahan warga Poso.
Pengamat terorisme Indonesia, Al Chaidar, mengatakan ada satu hal yang dilewatkan oleh Densus 88 terkait taktik penanganan tepat sasaran dalam menghadapi terorisme. Dia mengatakan, pergerakan teroris di Poso khususnya sudah tak bisa lagi dihadapi dengan berhadapan muka.
Jaringan teroris di Poso, kata dia, sudah berubah pola menjadi sistem pergerakan gerilya, yang artinya mereka bersembunyi di tengah masyarakat. Makanya, dia berujar, tak bisa lagi dipungkiri bahwa Densus 88 membutuhkan peran warga Poso untuk bersama-sama meredam gerak-gerik terorisme.
“Densus 88 tahu benar tentang hal ini, tapi sampai sekarang belum telrihat aksi rangkul yang intens kepada tokoh masyarakat setempat dilakukan,” ujar dia, Selasa (11/6), di Jakarta. Chaidar berujar, kemarahan warga Poso akibat keberingasan Densus 88 dalam menanggulangi teroris wajar terjadi. Pasalnya, sikap yang ditunjukan Densus 88 sudah lebih dari cukup untuk disebut arogan.
Sikap tersebut menurut Chaidar tak bisa lagi dipertahankan. Ini dikarenakan, masyarakat dapat terus memandang miring pada kelakuan Densus 88 yang akhirnya malah memupuk kebencian.