REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Jakarta Abdillah Ahsan mengatakan kebijakan pengendalian rokok yang masih lemah menjadikan Indonesia menjadi salah satu pasar potensial yang dilirik industri rokok.
"Peringatan kesehatan bergambar belum berlaku, kawasan tanpa rokok yang masih embrio dan iklan serta sponsor rokok yang semakin masih mendorong industri rokok terus berkembang," kata Abdillah Ahsan di Jakarta, Senin (10/6).
Abdillah mengatakan, berdasarkan data dan paparan industri rokok yang dia kutip, Indonesia merupakan pasar rokok potensial karena lingkungan ekonomi dan kondisi demografis yang mendukung. Pertumbuhan ekonomi yang rata-rata di atas enam persen menarik minat industri rokok masuk ke Indonesia.
Selain itu, peningkatan kelas menengah yang mencapai dua kali lipat juga menjadi faktor demografi yang menarik minat industri. Perokok usia muda juga menjadi salah satu faktor demografi yang mendukung.
"Karena iklan dan promosi rokok yang semakin masif anak-anak usia muda menganggap rokok sebagai sesuai yang keren, apalagi harganya yang murah. Iklan dan promosi rokok saat ini juga semakin norak dan menantang kebijakan pengendalian tembakau," tuturnya.
Faktor lain yang menjadikan Indonesia pasar potensial bagi industri rokok adalah meningkatnya kesejahteraan yang ditandai dengan pendapatan perkapita yang meningkat dari 2.500 dolar AS pada 2009 menjadi 3.500 dolar pada 2012. "Pendapatan masyarakat meningkat, tetapi harga rokok tidak naik. Rokok semakin terjangkau sehingga harganya menjadi semurah permen," ujarnya.
Pertumbuhan konsumsi rokok yang konsisten juga menarik industri rokok masuk ke Indonesia. Pada 2009, konsumsi rokok mencapai 251 miliar batang setahun dan meningkat tajam pada 2012 dengan angka 302 miliar batang.
Abdillah Ahsan menjadi salah satu pembicara dalam jumpa pers "Kebijakan Cukai untuk Menurunkan Keterjangkauan Rokok" yang diadakan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Jakarta di salah satu hotel di kawasan Senayan, Jakarta Selatan.
Selain Abdillah, pembicara lainnya adalah Kepala Subbidang Teknis Kepabeanan Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Budi Setiawan, peneliti Aliansi Pengendalian Tembakau Asia Tenggara (SEATCA) Sophapan Ratanachena dan Project Director SEATCA Initiative on Tobacco Tax (SITT) Ulysses Dorotheo.