REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR - Gelandangan dan pengemis (gepeng) menjadi masalah rumit yang dihadapi berbagai kota di Indonesia, termasuk di Bali.
Desa Trunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, yang pernah disebut sebagai salah satu desa pusat gepeng di Pulau Dewata, menjadi contoh desa yang berhasil mengubah perilaku masyarakatnya.
"Selain membina warga dengan berbagai keterampilan, kami menumbuhkan rasa malu di kalangan warga untuk meminta-minta," kata Sekretaris Desa Trunyan, Ketut Jaksa, kepada ROL, Jumat (7/6).
Dikatakannya, masyarakat Trunyan sebenarnya tidak mengenal tradisi meng-gepeng, karena mereka orang-orang desa yang tangguh. Hanya saja, kebiasaan mereka menjual hasil pertanian ke kota dengan bentuk barter, disikapi berbeda masyarakat kota, dengan memberikan uang, namun tidak mau menerima barang bartean.
Hal itu kemudian menjadi kebiasaan sebagian orang Trunyan dan kebiasaan itu kini sudah hilang. Sebagai daerah tujuan wisata sebut Jaksa, Trunyan harus berbenah, termasuk menyiapkan sikap masyarakat dalam menyambut kunjungan wisatawan.
"Sekarang tidak ada lagi yang meminta-minta. Kalau ada yang melakukannya, akan dicibir atau dicemooh oleh warga yang lain," katanya.
Cibiran atau cemoohan itu kata Jaksa, sebagai bentuk sanksi sosial warga Trunyan kepada warganya yang meminta-minta. Karena malu diperlakukan tidak hormat kerabatnya, mereka akhirnya meninggalkan kebiasaan meminta-minta.