Rabu 05 Jun 2013 03:25 WIB

Curiga Dikriminalisasi, DPR Akan Gelar Perkara Bioremediasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus Bioremediasi Chevron akhirnya bergulir ke gedung dewan. Setelah menerima pengaduan dugaan kriminalisasi proyek Bioremediasi, Komisi III DPR RI sepakat menggelar perkara itu di Senayan.

Hal itu diungkapkan Tjatur Sapto Edy, wakil Ketua Komisi III DPR, saat menerima sejumlah organisasi alumni perguruan tinggi di ruang sidang Komisi III DPR, Jakarta Pusat, Selasa (4/6).

Tjatur mengatakan, program bioremediasi diputuskan SKK Migas, sehingga kasus ini tidak bisa berdiri sendiri. Untuk itu, Komisi III akan mengundang penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam sebuah gelar perkara, seperti dalam kasus Bank Century.

"Kami juga akan mengundang Komnas HAM. Ini harus segera dilakukan, karena kasus ini selalu berkembang. Sepertinya para penegak hukum kita tertinggal dengan teknologi, sehingga tidak memahami kasus bioremediasi yang ditanganinya," ucap Tjatur.

Dugaan kriminalisasi proyek bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) itu diadukan enam organisasi alumni perguruan tinggi, yakni Iluni Universitas Indonesia (UI), IA Institut Teknologi Bandung (ITB), Keluarga Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Surabaya (ITS), Universitas Trisakti (Usakti), dan UPH Veteran Yogyakarta, ke Komisi III DPR RI pada Selasa (4/6).

"Korban kasus ini (bioremediasi) adalah para alumni kami, yang telah bekerja secara profesional, namun kini menjadi pesakitan di ruang sidang. Bahkan sudah ada yang dipenjara. Menurut temuan Komnas HAM, ada pelanggaran HAM," kata wakil dari keenam organisasi alumni tersebut, Budi Yohanes kepada jajaran Komisi III DPR RI saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di ruang sidang Komisi III DPR, Jakarta Pusat.

Budi menegaskan, kedatangan keenam organisasi alumni perguruan tinggi tersebut, karena tujuh orang alumnus dari keenam perguruan tinggi tersebut menjadi korban kriminalisasi kasus bioremediasi. Menurut Budi, pihaknya terus memantau proses hukum bioremediasi ini, mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, hingga proses peradilan yang telah memvonis dua orang di antaranya bersalah. Pemantauan dilakukan karena proses hukumnya dianggap janggal sejak awal.

Menurutnya, hal tersebut terbukti dengan hasil kesimpulan temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyimpulkan, proses hukum terhadap ketujuh orang yang terbelit masalah bioremediasi tersebut melanggar HAM.

"Kami lihat secara kasat mata, sebelum ada temuan Komnas HAM, sudah ada kesewenang-wenangan, mulai penyelidikan, penyidikan, dari jaksa penuntut umum (JPU), dan proses peradilan pun terjadi penyalanggunaan wewenang," kata Budi kepada Wakil Ketua Komisi III, Al Muzammil Yusuf, yang memimpin RDPU.

Dalam RDPU yang dihadiri Ketua Komisi III, Gede Pasek Suardika; Wakil Ketua Aziz Syamsuddin dan Tjatur Sapto Edy, serta anggota komisi lainnya, Budi menjelaskan, temuan Komnas HAM menyebutkan sejumlah pelanggaran HAM, yakni Pasal 3 ayat (3), Pasal 5 ayat (2), dan Pasal 17 Undang-Undang tentang HAM.

Pelanggaran tersebut menjadikan tujuh orang tersangka dan terdakwa itu tidak mendapatkan proses hukum yang adil, baik saat penyelidikan, penyidikan, hingga proses humum di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

"Kita bisa lihat diproses persidangan, tidak diberikan hak yang sama di perisangan. Misalnya dalam mengajukan saksi-saksi, oleh hakim, JPU diberikan keleluasan untuk mengajukan saksi sebanyak-banyaknya, kepada mereka (terdakwa), hanya diberi waktu 1-2 minggu. Kurang sekali, bahkan ada seorang yang ditahan, dia sampai menyembah agar bisa sampaikan 1 saksi, tapi oleh hakim ditolak dengan gaya sewenang-wenangnya," beber Budi.

Budi meminta Komisi III DPR menindaklanjuti temuan Komnas HAM, demi tidak berlangsungnya pengadilan sesat kepada para terdakwa kasus ini. Selain itu, agar tidak ada lagi karyawan lainnya yang dikriminalisasi. "Ini, temuan Komnas HAM bukan kami cari-cari, sehingga temuan ini harus ditindaklanjuti Komsi III. Menurut kami, ini pengadilan sesat, karena mulai penyelidikan, penyidikan, hingga persidangan, itu sarat dengan rekaya dan tidak ikuti hukum acara yang berlaku," tuding Budi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement