REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (APEGTI) resmi melaporkan kasus gula di perbatasan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketua umum APEGTI M Natsir Mansyur mengatakan, pihaknya sudah mengirimkan surat permintaan untuk audit sejak sepekan yang lalu.“Karena jika dibiarkan maka bisa seperti kasus impor daging sapi,” ujarnya saat dihubungi Republika, Ahad (2/6).
Menurutnya, tiga perusahaan yang diberikan izin impor oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) Indonesia yaitu PT PG Rajawali III (Pabrik Gula Gorontalo), PT Industri Gula Nusantara (IGN), dan PT Eka Tunggal Mandiri.
Tiga perusahaan tersebut, tuturnya, adalah perusahaan-perusahaan yang pabriknya berbasis tebu, bukan industri gula rafinasi yang berbahan baku gula mentah (raw sugar). Menurutnya, raw sugar lebih cocok untuk keperluan industri, bukan gula kristal putih (GKP) yang biasa dikonsumsi.
“Padahal aturannya industri rafinasi yang berbahan baku raw sugar untuk makanan dan minuman. Sedangkan industri yang berbasis tebu maka bahan baku dari tebu,” ucapnya.
Dia juga menilai, ketiga perusahaan tersebut tidak berpengalaman dalam hal distribusi, biaya transportasi, dan sarana pergudangan.“Jadi ini kesalahan besar bagi pemerintah karena pemerintah sendiri yang membuat aturan tetapi pemerintah yang melanggar,” ujarnya.
Natsir juga mempertanyakan kenapa Kementerian Perdagangan (Kemendag) memberikan izin impor gula sebanyak 240 ribu ton. Padahal, lanjutnya, impor gula untuk di daerah enam provinsi yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Aceh, Kepulauan Riau, Sulawesi, dan Maluku hanya membutuhkan 94 ribu ton gula.
Akan tetapi faktanya pemerintah mengeluarkan kebijakan impor sebanyak raw sugar sebanyak 240 ribu ton. “Jumlahnya saja sudah menyalahi, apalagi peruntukkannya,” tuturnya.
Persoalan lainnya yaitu disparitas harga. Natsir menerangkan, harga gula saat ini mencapai Rp 13 ribu per kilogram. Di daerah perbatasan, harga gula sudah menembus Rp 15 ribu per kilogram. Padahal Harga Pokok Pembelian (HPP) gula sebesar Rp 8.900 per kilogram.
Karena kejanggalan-kejanggalan itu, Natsir melaporkannya pada KPK dan BPK yang selanjutnya diharapkan ada tindakan investigasi terhadap impor gula.“Karena kebijakan Kemendag mengandung kontroversi,” tuturnya. Dia berharap, ada sanksi hukum untuk Kemendag. Terutama oknum pejabat-pejabat yang mengambil kebijakan.