REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto menyatakan bahwa pembatasan transaksi tunai kini tidak lagi penting, tapi sudah merupakan kondisi yang mendesak.
"Ini urgen karena menjelang tahun politik 2014 biasanya perputaran transaksi tunai akan mengalami peningkatan," kata Bambang dalam diskusi dan peluncuran buku "Membatasi Transaksi Tunai; Peluang dan Tantangan" di Jakarta, Rabu (29/5).
Menurut Bambang, menjelang tahun politik, biasanya banyak transaksi tunai yang menggunakan uang palsu dan peredarannya paling besar berada di luar Pulau Jawa.
"Kalau transaksi tunai dibatasi, tentu akan meminimalisasi peredaran uang palsu," ujar dia.
Bambang mengatakan transaksi tunai ini kemudian menjadi masalah yang salah satunya disebabkan oleh masalah yang berawal dari hulu satu organisasi yang dalam hal ini dicontohkan berupa partai politik.
Dengan tidak memiliki sistem pengujian akuntabilitas keuangan yang baik, sementara biaya politik tinggi, Bambang menegaskan hal ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang karena sebagian besar pengurus partai di hilir adalah pemegang kekuasaan.
"Partai yang bermasalah keuangannya, maka kader-kadernya potensial menyalahgunakan kewenangannya serta terjerumus masuk pidana," kata Bambang.
Oleh sebab itu, ia mengimbau adanya percepatan terhadap eksekusi pelaksanaan aturan pembatasan transaksi tunai karena menurut dia saat ini merupakan momentum yang paling tepat. Yang perlu diingat, transaksi suap menyuap itu tunai, maka harus ada kebijakan lain yang menyertai pembatasan transaksi tunai, pesan Bambang.