Rabu 22 May 2013 17:33 WIB

Warga Korban Penggusuran Imbas dari Urbanisasi

Rep: Wahyu Syahputra/ Red: Djibril Muhammad
Warga menolak penggusuran
Foto: antara
Warga menolak penggusuran

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belakangan ini, pemandangan ibu kota diramaikan aksi penggusuran yang dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan yang mengaku memiliki lahan yang ditempati secara ilegal.

Menurut pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, warga yang menolak penggusuran rumah mereka di lahan pemilik aslinya merupakan imbas dari urbanisasi.

Menurut Yayat, mereka adalah warga-warga yang masuk ke Ibu Kota, karena persoalan urbaninasasi. Ketika mereka masuk ke dalam kota, mereka tidak punya tempat tinggal dan tidak memiliki tempat pemukiman yang layak.

Kemudian mereka melihat ada lahan yang tidak terurus dan terlihat liar, padahal lahan tersebut kemungkinan lahan sengketa atau masih dalam proses hukum yang sudah lama kosong. "Dari situlah mereka mengisi," katanya ketika dihibungi Republika, Rabu (22/5)

Yayat mengatakan, dari penempatan lahan yang tidak terurus tersebut, dibuatlah bangunan-bangunan dengan menggunakan kayu, seng, atau rumah yang langsung dipermanenkan. Karena tidak diperhatikan, mereka tinggal di lahan tersebut dalam jangka waktu yang lama.

Akar persoalannya adalah, ia menilai adalah karena kecerobohan pemilik tanah atau pemerintah yang tidak mengurus lahan kosong tersebut. Warga dengan persoalan urbanisasi lantas menempatinya, ketika sudah lama tinggal timbul rasa memiliki, dan akhirnya melakukan protes ketika disuruh pindah.

Yang terkena efeknya pemerintah sendiri. Pemerintah diminta untuk mencarikan solusi terbaik bagi masyarakat yang sebenarnya membuat masalahnya sendiri. "Mereka kan menempati tanah tersebut secara ilegal," kata Yayat.

Seharunya Pemerintah mengingatkan kepada pemilik tanah status tanahnya di Jakarta masih sengeketa dan masih proses hukum agar merawat dan mengurus tananhnya. Jika tidak terurus akan timbul potensi ditempati warga yang tidak bertanggung jawab.

Yayat menjelaskan, tidak hanya warga biasa saja, namun, preman dan mafia tanah juga bermain untuk mendirikan bagungan permanen seperti kontrakan. Ketika sudah ingin digusur mereka akan meminta kepada pemilik tanah sejumlah uang karena mengaku sudah lama tinggal di sana dan sudah menjaga tanah tesebut. "Pemerintah harus perhatikan ini," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement