Selasa 21 May 2013 23:41 WIB

Uji Publik RUU Kamnas Belum Cukup

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Djibril Muhammad
RUU Kamnas (ilustrasi)
Foto: Setara Institute
RUU Kamnas (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah diminta lebih transparan dan aktif dalam menyosialisasikan Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas). Bahkan bila perlu, pemerintah harus melakukan uji publik lagi untuk memastikan RUU tersebut memang layak disahkan.

"Pemerintah harus bisa meyakinkan masyarakat bahwa keterangan yang mereka berikan tidak bertolak belakang dengan isi draf RUU itu," kata Koordinator Eksekutif Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar, saat dihubungi Republika, Selasa (21/5).

Haris menilai pemerintah selama ini terkesan bergerak sendiri-sendiri dalam menyosialisasikan RUU Kamnas. Itu pun, kata dia, belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat, melainkan baru sebatas pada kalangan tertentu seperti kampus-kampus perguruan tinggi.

Ia pun meminta agar pemerintah membuat semacam forum untuk melakukan uji publik dan mendiskusikan penyusunan draf RUU Kamnas. Dengan begitu, kata dia, akan terbentuk komunikasi antara pemerintah,

unsur masyarakat, akdemisi, dan para korban dari kebijakan kamnas dari rezim-rezim sebelumnya sampai hari ini.

"Ada ribuan orang yang terkena implikasi atas kebijakan kamnas di negeri ini. Pemerintah harus mendengarkan suara mereka," ujarnya.

Haris pun mengaku belum mengetahui sejauh mana perubahan substansi RUU Kamnas hasil revisi pemerintah. Sebab, ia belum lagi mendapat salinan draf RUU tersebut.

Menurut Haris, tingkat kekerasan TNI-Polri yang kian meningkat hari ini menjadi alasan yang paling logis untuk menolak kehadiran UU Kamnas. Pemerintah, kata dia, semestinya bercermin pada fakta ini.

"Jika nanti UU ini dipakai sebagai landasan aparat dalam melakukan kekerasan, saya pastikan masyarakat akan sulit untuk meminta keadilan," ujarnya.

Seperti diketahui, Wakil Menteri Pertahanan RI, Sjafrie Sjamsoeddin menyatakan pembahasan RUU Kamnas kembali dilanjutkan dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun ini.

RUU ini sebelumnya menuai kontroversi dari sejumlah kalangan, karena dinilai membuka peluang kembalinya gaya pemerintahan yang represif dan otoriter. "Pemerintah menjamin itu tidak akan terjadi, karena beberapa persoalan substansi dari draf RUU tersebut sudah kami perbaiki," kata Sjafrie.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement