Rabu 15 May 2013 18:55 WIB

DPD Usulkan Pembenahan Pelaksanaan Pilkada

Rep: Muhammad Akbar Wijaya / Red: Djibril Muhammad
Ketua DPD RI Irman Gusman
Foto: ist
Ketua DPD RI Irman Gusman

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia masih perlu pembenahan. Hal ini agar pilkada tidak hanya menjadi proses demokrasi prosedural.

"Pilkada mesti memberi dampak yang substansi bagi masyarakat," kata Ketua DPD Irman Gusman saat menjadi keynote speaker dalam Seminar Nasional 'Pemilihan Umum Kepala Daerah di Indonesia' di Semarang, Jawa Tengah, Rabu (15/5).

Irman menyatakan pada prinsipnya pelaksanaan pilkada di Indonesia sudah relatif maju. Namun anehnya, apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, indeks demokrasi Indonesia masih tertinggal.

Berdasarkan survey majalah The Economist, Indonesia menempati peringkat ke-67 di bawah Timor Leste (42) dan Thailand (57). "Ini agak paradoks melihat pilkada mekar di mana-mana tapi ternyata rangking demokrasi masih di bawah Timor Leste," kata Irman.

Rendahnya peringkat kualitas demokrasi Indonesia disebabkan sejumlah faktor. Irman menyatakan demokrasi Indonesia, menurut The Economist, belum memberi dampak berarti terhadap perkembangan pluralisme, penguatan fungsi pemerintahan, dan partisipasi politik masyarakat.

Contoh sederhana, dari 446 pelaksanaan pilkada sejak 2009 sampai 2014, sebanyak 392 di antaranya berakhir di meja hijau. "Ini contoh bahwa pilkada belum substansi masih sekadar prosedural," ujar Irman.

Irman menyatakan perlu ada pembenahan dalam sistem pelaksanaan pilkada. DPD, imbuh Irman, mengusulkan sejumlah hal: Pertama, transparansi keuangan dari peserta incumbent lewat laporan Badan Pemeriksa Keuangan. Para incumbent mesti mendapat peringkat laporan wajar tanpa pengecualian.

Kedua, perlu ada peningkatan persyaratan bagi para calon kepala daerah independen. Hal ini agar kualitas calon kepala daerah independen bisa menyaingi kandidat partai politik. Ketiga, DPD mengusulkan biaya pilkada jangan dibebankan lewat APBD.

Menurut Irman ongkos penyelenggaraan pilkada bisa menelan anggaran Rp 200 miliar sampai Rp 300 miliar. Jumlah tersebut bisa mengganggu program pembangunan pemerintah daerah.

Kalaupun mesti mengambil dana APBD, Irman menyarankan sebaiknya anggaran yang digunakan tidak lebih dari satu persen total pendapatan daerah. "Biaya sebaiknya dibebankan ke APBN," ujarnya.

Irman menyatakan memperbaiki kualitas demokrasi lewat pilkada merupakan tanggung jawab bersama. Para elite harus diberi kesadaran bahwa pilkada bukan persoalan menang kalah. "Pemilukada langsung masih perlu dipertahankan. Demokrasi memang mahal tapi ini yang terbaik," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement