REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terungkapnya kasus 500 kilogram daging celeng yang rencananya akan dioplos bersama daging sapi di Pelabuhan Merak akhir pekan kemarin, kembali menyita perhatian publik.
Daging celeng setengah ton ini rencananya akan dioplos dan diperjual belikan di wilayah Jabodetabek dan sekitarnya. Konsumen pun diminta semakin kritis mewaspadai peluang penjualan daging sapi yang dioplos dengan daging celeng.
Wakil Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Osmena Gunawan mengatakan, masyarakat memiliki andil besar melaporkan berbagai indikasi penyimpangan penjualan daging non halal meski secara administratif aturan daging haram sangat ketat.
Dia tidak menampik kalau masih banyak daging ilegal dan non halal tersebut beredar di pasaran. "Secara data masih besar daging yang legal dan halal, namun kembali ditemukannya daging celeng itu, menunjukkan cara bisnis ini masih berjalan," ujar Osmena kepada Republika, Ahad (12/5).
Pelaku pengoplosan dinilai masih tetap ada selama stok daging langka dan harga daging yang masih mahal. Selain alasan tersebut, ia mengindikasi pengoplosan disebabkan budaya di beberapa wilayah yang memburu babi hutan sebagai hama tanaman.
Perilaku ini, tuturnya, lalu dimanfaatkan oleh beberapa oknum dengan mengoplos daging celeng dan sapi untuk kemudian dijual ke konsumen.
LPPOM MUI, kata dia, sebenarnya telah melakukan syarat penghalalan ketat untuk produk daging. Salah satunya dengan pencantuman label halal.
Namun ini pun membutuhkan pengawasan dari masyarakat terkait label tersebut. Karena masih agak susah mengawasi label yang sebelumnya sudah lulus tes uji fisik. Apalagi pengawasan itu untuk produk daging.