Sabtu 04 May 2013 21:01 WIB

Setiap Hari, 100 Spesies di Dunia Punah

Kawasan Pulau Komodo di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Foto: platarankomodo.com
Kawasan Pulau Komodo di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya dengan keanekargaman hayati. Akan tetapi pengelolaannya masih belum mendapatkan perhatian dari banyak pihak. 

Jika hal ini terus terjadi maka keanekaragaman hayati itu bisa hilang untuk selamanya.  "Kalau sudah hilang maka akan hilang selamanya, ini petaka," ujar salah satu Dewan Pengurus Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI), Endang Sukara, saat mengisi salah satu sesi diskusi di acara Jakarta Marketing Week 2013 di Kota Kasablanka, Sabtu, 4 Mei 2013. 

Kondisi keanekaragaman hayati secara global sudah memprihatinkan, termasuk di Indonesia. Berdasarkan data yang dia kumpulkan, pada 70 juta tahun yang lalu, 1 spesies hilang dalam 1.000 tahun, lalu pada tahun 1600 sampai 1900, 1 spesies hilang dalam 4 tahun, di rentang tahun 1900 sampai 1980, 1 spesies hilang dalam 1 tahun, kemudian tahun 1980 sampai 2000, 1 spesies hilang dalam sehari. 

Hilangnya spesies ini semakin cepat, bahkan pada tahun 2000 hingga saat ini diprediksi 100 spesies hilang dalam sehari. Sebelum kondisi semakin parah, Indonesia yang memiliki potensi yang besar dalam hal keanekaragaman hayati harus melakukan sesuatu.

Endang melihat salah satu upaya konservasi yang dirasa mampu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal adalah ekowisata. Tempat-tempat seperti Cibodas, Pulau Komodo, Gunung Leuser, Tanjung Puting, atau Siberut sebenarnya memiliki keindahan alam yang bisa ditawarkan bagi pengunjung. Nilai lebih yang lain adalah adanya satwa-satwa endemik seperti gajah dan harimau di Gunung Leuser, Orang Utan di Tanjung Puting, dan Komodo di Pulau Komodo. 

Namun, potensi ini justru digunakan oleh orang-orang asing. "Yang mengelola kapal pesiar yang datang ke Pulau Komodo itu bukan orang Indonesia. Orang Indonesia hanya mendapat uang dari karcis masuk saja," kata Endang. 

Karena datang dengan kapal pesiar, para pengunjung banyak yang menghabiskan waktu di kapal, sehingga masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk menjajakan makanan atau hasil kerajinannya. 

Kondisi ini sangat disayangkan, apalagi iklim politik dan investasi di Indonesia masih belum pro-keanekaragaman hayati dan pemanfaatannya yang memberikan nilai tambah bagi masyarakat.

Di dunia, ekowisata sudah menjadi semacam trend. Sebuah bentuk wisata yang bertanggung jawab. Baik pengelola maupun pengunjungnya sama-sama memiliki kesadaran bahwa wisata yang dilakukan dalam kerangka konservasi. Bentuk ekowisata juga lebih diarahkan pada pemberdayaan masyarakat sehingga memberikan manfaat ekonomi. 

Saat ini Yayasan KEHATI sudah menjalankan program pendampingan dan pengembangan ekowisata di tiga tempat, yaitu Pulau Pramuka di Kepulauan Seribu, Pulau Maratua di Kalimantan Timur, dan di Pulau Sangihe di Sulawesi Utara. Kegiatan yang masih berjalan ini sudah mulai memberikan dampak. 

Di Pulau Maratua misalnya, sebanyak 4 desa sudah sepakat untuk bergabung melakukan pengelolaan ekowisata ini dan membentuk Perseroan Terbatas (PT). Sedangkan di Pulau Sangihe, pemerintah daerahnya sudah memberi respons positif. 

sumber : Siaran pers
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement