REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) belum menerapkan evaluasi menyeluruh terhadap berbagai wilayah pemekaran di seluruh Indonesia. Kemendagri hanya mengandalkan laporan kepala daerah yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan obyektifitasnya.
"Kemendagri belum lakukan evaluasi menyeluruh daerah pemekaran," kata Wakil ketua Komisi II DPR, Arif Wibowo ketika dihubungi Republika, Selasa (1/5).
Pemekaran daerah membawa dampak positif terhadap kemajuan pembangunan di suatu daerah. Arif mencontohkan daerah pemekaran banyak mengalami kemajuan di bidang infrastruktur seperti listrik dan jalan. Persoalannya, kata Arif, pembangunan itu belum tentu berkorelasi dengan rasa keadilan di masyarakat.
Menurut politisi PDI Perjuangan ini rasa keadilan tidak bergantung pada besaran dana yang diterima kepala daerah. Tapi bergantung pada kecakapan kepala daerah dalam memimpin. "Keadilan bergantung kepemimpinan," ujarnya.
Saat ini 150 lebih daerah yang telah mengajukan pemekaran ke DPR. Jumlah itu belum termasuk dengan yang diajukan ke pemerintah yakni sebanyak 200 daerah lebih.
Arif menyatakan DPR tidak akan menghalang-halangi keinginan pemekaran di setiap daerah. Alasannya pemekaran daerah terbukti secara empirik meningkatkan kemajuan pembangunan di daerah-daerah tertinggal. "DPR setuju semua daerah pedalaman dimekarkan," ujarnya.
Kekhawatiran terhadap pemekaran daerah biasanya muncul dari elite politik nasional yang menempati posisi-posisi birokrasi strategis di level pusat. Mereka khawatir karena pemekaran daerah bisa memangkas anggaran yang diberikan pemerintah ke masing-masing birokrasi. "Karena uang dari pusat harus dibagi dengan daerah," katanya.
Menyangkut bentrok di Musi Rawas, Arif menyatakan hal itu sebenarnya tidak perlu terjadi. Sebab sampai saat ini tidak ada niat dari DPR menghalang-halangi pemekaran Musi Rawas Utara menjadi kabupaten sendiri dari sebelumnya wilayah bagian Musi Rawas.
Menurut Arif setiap kepala daerah mesti memberikan keterangan yang obyektif kepada masyarakat terkait pelbagai perkembangan usaha pemekaran wilayah. Selama ini pemekaran daerah menjadi biang keladi konflik lantaran tak ada informasi menyeluruh ke masyarakat.
Informasi sensitif yang menyangkut perbatasan wilayah dan penetapakan ibu kota kerap disalahgunakan untuk kepentingan kelompok elite. "Elite daerah sosialisasikan informasi secara obyektif," katanya.