REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Opsi menaikkan harga BBM bersubsidi dinilai Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance, Ahmad Erani Yustika terlalu riskan saat ini.
Pemerintah berencana menaikkan harga BBM bersubsidi untuk mengurangi beban negara. Menurut Erani, opsi itu diambil karena kemampuan pemerintah untuk mengendalikan inflasi yang diakibatkan komponen harga barang bergejolak (volatile foods) sangat lemah.
"Itu menurut saya biayanya lebih besar dari manfaat yang diperoleh," tutur Erani Yustika kepada wartawan usai jumpa pers Evaluasi Triwulanan Indef: Interrelasi Defisit Ganda dan Inflasi di Jakarta, Selasa (9/4).
Erani menjelaskan, sebagai gambaran, menaikkan harga BBM bersubsidi sama dengan mengurangi belanja subsidi pemerintah yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013. Saat ini, pagu belanja subsidi energi, khususnya untuk subsidi BBM mencapai Rp 193,8 triliun.
Selain itu, defisit neraca perdagangan akibat nilai impor minyak mentah dan hasil minyak dapat tereduksi jika opsi yang tidak populis itu diambil. Per Februari 2013, nilai impor minyak mentah 826,8 juta dolar AS (Rp 8 triliun) dan hasil minyak 2,579 miliar dolar AS (Rp 25 triliun).
Sedangkan ekspor minyak mentah 814 juta dolar AS (Rp 7,9 triliun) dan hasil minyak 324,1 juta dolar AS (Rp 3,15 triliun).