REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- National Papua Solidarity (NAPAS) menilai program Otonomi Khusus (Otsus) dan Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua Barat (UP4B) di Papua bukan merupakan sebuah solusi.
NAPAS mengacu kondisi saat ini di manaratusan penduduk di lima desa di Distrik Kwor, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, terserang wabah penyakit dan puluhan meninggal dunia.
Koresponden dari Tim Advokasi dan Kampanye NAPAS, April Perlindungan mengatakan, bentuk kompensasi apa pun dari pemerintah untuk warga Papua di Tambrauw, tidak akan menggantikan seluruh kerugian yang saat ini tengah dirasakan.
''Program percepatan pembangunan, pendidikan, dan kesehatan serta infrastruktur yang menjadi jargon Otsus, hanya jadi komoditas politik,'' ujar April, Kamis (4/4), di Kantor NAPAS, Menteng, Jakarta Pusat.
Ia juga menyebut sejumlah kerusakan lingkungan, erutama untuk kawasan hutan Papua yang hilang, tidak tergantikan.
Saat ini pun, imbuhnya , belum diketahui penyebab pasti busung lapar yang diderita penduduk di Distrik Kwor yang tinggal di Kampung Jocjoker, Kosefo, Baddei, Sukuwes, dan Krisnos.
April mengatakan, dengan penderitaan dan kematian di Kwor sekarang, bukti Otsus dan UP4B tidak memberi signifikansi bagi jaminan hidup, rasa aman, dan kesejahteraan rakyat Papua.
Masyarakat Kwor tidak menemukan fasilitas kesehatan yang dapat mereka jangkau ketika wabah penyakit datang menyerang. Terangnya, di sama, tidak ada tenaga medis yang bisa warga temui ketika kematian mengancam.
Seorang warga Papua, Andreas Yesna, mengatakan, kondisi kawan-kawannya di Kabupaten Tambrauw saat ini sangat tergantung dengan pelayanan kesehatan. ''Di sana ada rumah sakit besar. Tapi isinya kosong, tidak ada fasilitasnya perawatnya,'' katanya.
Yang terparah bahkan pria yang sudah dua tahun tinggal di Ibu Kota ini mengungkapkan, untuk mendapatkan penanganan medis, warga di Tambrauw harus pergi ke Sorong. ''Pelayanan kesehatan seperti itu, tidak ada.''