REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkawinan usia dini membuat pelajar tidak bisa meneruskan sekolah atau bahkan mengikuti ujian akhir. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menilai, hal itu tidak adil untuk anak-anak tersebut.
Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait mengatakan, yang memberikan ujian nasional (UN) adalah negara. Sekolah hanya melaksanakan aturan pemerintah. "Kami menolak alasan tidak memberikan izin untuk ujian karena perilaku," kata dia di Kantor Komnas PA, Jakarta Timur, Selasa (2/4) siang.
Sebelumnya, Sudirman (17 tahun) melaporkan tidak bisa ikut UN karena ketahuan menghamili pacar dan kemudian menikahinya. Dia mengaku sempat mengikuti ujian akhir sekolah (UAS) dan membayar sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) seperti biasa.
Menurut Arist, sekolah tidak berhak melarang siswa mengikuti UN. Karena hal itu telah diatur dalam UU Nomor 20/2003. Sehingga, UN menjadi hak siswa dan tidak ada yang boleh melarang siswa mengikuti ujian tersebut.
Selain Sudirman yang terancam tidak bisa mengikuti UN pada (15/4). Sedikitnya terdapat 21 siswa lain yang tidak bisa mengikuti UN tingkat SMP dan SMA. Alasannya pun beragam, mulai dari pelanggaran tata tertib, hamil, menikah dini, hingga narkoba. Para pelajar itu berasal dari Sabang sampai Merauke.
Menurut Arist, perilaku menyimpang itu merupakan kegagalan institusi pendidikan. Sehingga, seharusnya tidak dibebankan ke siswa. Menurutnya, perilaku harus dipisahkan dengan hak mendapatkan pendidikan. "Anak-anak terpidana melakukan pembunuhan hak pendidikannya tidak hilang," kata dia.
Komnas PA akan menyurati Mendikbud M Nuh karena masalah tersebut. Ia akan mengusahakan agar anak-anak itu tetap dapat mengikuti UN.