REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) masih mandeg di DPR. Padahal, pembahasan RUU JPH sudah dimulai sejak fase 2004-2009 lalu. Di periode 2009-2014 ini, menjadi fase pembahasan kedua. Sampai saat ini belum ada titik terang kapan RUU JPH ini akan disahkan menjadi UU JPH.
Kehadiran UU JPH ini dinantikan oleh umat muslim. Anggota Komisi VIII DPR, Ledia Hanifa Amalia, mengakui pembahasan RUU JPH antara DPR dengan pemerintah masih buntu. "Masih buntu pembahasan dengan pemerintah soal bentuk lembaga dan sifatnya," kata Ledia Hanifa saat diskusi RUU JPH di Perpustakaan Universitas Indonesia (UI) Depok, Senin (1/4).
Ledia menambahkan, dalam pembahasan lembaga halal ini, pemerintah menginginkan lembaga ini berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag. Sedangkan DPR mengusulkan lembaga ini independen dari struktur Kemenag dan langsung di bawah Presiden.
Menurut wakil ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, DPR menganggap, persoalan lembaga halal ini menyangkut soal mewajibkan ada sertifikasi halal. Pasalnya, UU JPH ini bertujuan untuk memberi jaminan pada masyarakat terkait produk halal. Sebab itu, lembaga yang mengelola sertifikasi halal harus dari lembaga negara yang independen tidak di bawah kementerian mana pun.
Ledia menambahkan, alasan pemerintah menolak lembaga halal ini independen adalah akan menambah beban biaya negara. Pasalnya akan membentuk badan baru. Namun, kata Ledia, tidak masalah kalau APBN menjadi semakin besar, namun, ada jaminan produk halal yang sifatnya lebih jangka panjang bagi masyarakat Indonesia. Selain itu, kalau sertifikasi halal sifatnya sukarela, tidak akan ada bedanya sebelum ada dan sesudah ada UU JPH.