REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan pemerintah dalam pengembangan transportasi di Indonesia, khususnya transportasi laut dinilai salah kaprah dan salah konsep.
Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan, perlu perubahan paradigma dalam pengembangan transportasi laut.
"Sepanjang belum ada perubahan, transportasi laut akan mati," tutur Tulus dalam diskusi publik terbatas bertajuk Masa Depan Transportasi Laut di Indonesia: Tantangan dan Harapan yang diselenggarakan oleh Serikat Perusahaan Pers dan PT Pelni (Persero) di Gedung Dewan Pers, Kamis (28/3).
Menurut Tulus, kesalahanan paradigma tersebut tercermin dari kebijakan antarsektor transportasi yang sifatnya kanibalistik. Maksudnya, antara satu sektor dengan sektor lainnya tidak seiring dan sejalan.
Tulus melihat pengembangan transportasi udara dan darat lebih diutamakan daripada transportasi laut. Tulus juga menyinggung kesepakatan ASEAN Open Skies 2015 yang berdampak pada status bandara di Indonesia menjadi bandara internasional.
Kondisi ini akan mengakibatkan tingginya intensitas penerbangan yang ujung-ujungnya dapat mengancam transportasi laut secara keseluruhan.
Kepala Sub Direktorat Pengembangan Sistem dan Informasi Angkutan Laut Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Atik Sewaka mengatakan, pemerintah telah memiliki instrumen dalam pengembangan transportasi laut dalam wujud UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Aturan tersebut diturunkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan.
Selain angkutan di perairan, Atik menyebut elemen-elemen krusial dalam UU 17/2008 terdiri dari kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim.
Namun Atik mengakui dari sisi implementasi belum terlaksana sepenuhnya.