REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center for Indonesia Reform (CIR) Sapto Waluyo, MSc menilai kemenangan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada Pilkada Jabar dan Sumut memberi dua pelajaran kepada partai politik tersebut.
"Pertama, suara golput (di Sumut) tetap besar, bahkan cenderung lebih besar dari golput di Jabar. Di situ perlu edukasi dan pelayanan publik 'genuin' agar legitimasi kepala daerah tidak tergerus," katanya di Jakarta, Senin.
CIR merupakan lembaga kajian strategi dan kebijakan, serta rujukan informasi untuk masalah ekonomi, politik, sosial-budaya, sains-teknologi, hukum dan hak asasi manusia (HAM). Lembaga itu didirikan pada 30 November 2001 di Jakarta.
Pelajaran kedua, kata dia, dukungan pasangan relatif sangat signifikan, baik dari sisi popularitas (Deddy Mizwar) maupun basis massa tradisional (Tengku Erry).
"Pertanyaannya kemudian adalah apakah PKS mampu menggalang dan memimpin koalisi lokal yang produktif, yang berbeda dengan koalisi nasional yang penuh komplikasi?," kata alumni Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) yang menamatkan S-2 dengan kajian terorisme di S Rajaratnam School of International Studies (RSIS) kampus Nanyang Technological University (NTU) Singapura itu.
Sapto Waluyo juga mencatat ada kejutan dalam Pilgub di Sumut. Ia mengatakan dari beberapa survei sebelum pencoblosan, pasangan Gatot-Tengku bersaing ketat dengan Gus Irawan-Soekirman. Dalam perkembangan kemudian, kata dia, ternyata dalam waktu singkat Effendi Simbolon-Jumiran menyalip.
"Itu mirip gejala Rieke-Teten yang menyodok Dede-Lex dalam Pilkada Jabar bulan lalu," katanya.
Namun, kata dia, pasangan Gatot-Tengku memiliki basis lokal lebih mengakar dibandingkan dengan Effendi-Jumiran yang dipersepsi sebagai kandidat titipan pusat.
Dia mengemukakan bahwa saat kampanye, 1-4 Maret, CIR melakukan survei dengan hasil sedikit berbeda, yakni Gatot-Tengku (31,9 persen), Gus Irawan-Soekirman (20,1 persen), Effendi-Jumiran (19,8 persen), Amri-Nainggolan (12,2 persen), Chairuman-Fadly (9,5 persen), sedangkan untuk "undecided voters" atau pemilih yang belum menentukan pilihannya (6,5 persen).
Ia mengatakan survei dilakukan di 33 kabupaten dan kota terhadap 1.020 responden dengan "margin of error" tiga persen, tingkat kepercayaan 95 persen, dan metoda "multistage random sampling".Menurut dia, hasil Pilkada Jabar, Sumut dan daerah lain akan menentukan konstelasi politik menjelang Pemilu 2014.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia Yon Mahmudi mengemukakan faktor primordialisme seperti suku dan agama masih berperan dalam Pilgub Sumatera Utara.
"Meskipun para kandidat tidak mengeksplorasi isu tersebut dalam kampanye. Primordialisme itu bukan hal negatif dalam politik, tapi merupakan modal awal membentuk budaya politik yang demokratis," katanya.
Buktinya, kata dia, Pilkada Sumut berlangsung aman dan damai, nyaris tidak ada gesekan. "Kecuali dalam debat kandidat yang panas, itu sudah jadi watak orang Sumut yang vokalis," kata Yon yang juga pengajar pemikiran politik Islam pada program doktoral ilmu politik Fisip UI itu.
Dalam proses hitung cepat yang dilakukan beberapa lembaga survei, kandidat PKS Gatot Pujo Nugroho menempati posisi teratas."Suara Gatot didukung Tengku Erry Nuradi, gabungan solid Jawa-Melayu. Selama menjadi Plt Gubernur, Gatot terbukti mampu merangkul semua kelompok tanpa gejolak berarti," katanya.
Kandidat PDIP (Effendi Simbolon) dari suku Batak dan mencoba "mencuri" suara pemilih Jawa (Jumiran Abdi) dengan "endorsement" Jokowi.
"Kenaikannya signifikan, namun tak berhasil mengejar Gatot, karena Effendi lebih dipersepsikan sebagai orang Jakarta sebagaimana Chairuman Harahap (Golkar)," kata Yon.
Menurut dia, Gus Irawan Pasaribu, Dirut BPD Sumut (diusung Gerindra), berupaya mengakomodasi lintas kelompok dengan isu ekonomi, dan Amri Tambunan (Bupati Deli Serdang) yang menggandeng RE Nainggolan (mantan Sekda) tidak bisa mengangkat suara Partai Demokrat yang sedang kehilangan pamor dan soliditas internal.